Selasa 15 Jan 2013 15:09 WIB

'Jangan Paksa Kami Untuk Setara'

Ilustrasi wanita karir
Ilustrasi wanita karir

Laki-laki dan perempuan, secara kodrati diciptakan seperti dua sisi mata uang yang berbeda namun saling melengkapi satu sama lain. Keduanya jelas tidak dapat disepadankan dan disetarakan secara identik, baik dalam hal fisik, tanggung jawab moral, tugas, hak, maupun kewajiban.

Keduanya memiliki porsi yang berbeda sesuai dengan sifat-sifat alamiahnya, yang semuanya telah diatur oleh Sang Maha Pencipta. Apakah ini berarti sebuah degradasi atas peran perempuan? Atau bahkan telah masuk dalam ranah diskriminasi? Inilah pertanyaan yang selalu didengung-dengungkan kaum feminis di garda depan.

Jika dianalisa secara logika, tanpa adanya campur tangan sisi theis pun, feminisme bukanlah sebuah konsep solutif untuk diimplementasikan. Kesetaraan dalam segala bidang justru merunut pada rusaknya sistem dan bahkan berakibat buruk pada kaum Hawa sendiri.

Konsep keadilan dan kesetaraan telah dirumuskan, tidak semata sebagai kesamaan yang diberikan pada kedua belah pihak. Tetapi, tetap melihat pada fitrah-fitrah yang dimiliki keduanya agar tercipta suatu aturan yang harmoni dan memaksimalkan potensi kedua gender.

Ambil saja contoh kelemahan dari aplikasi konsep kesetaraan gender ini, seperti pemberian kesempatan perempuan untuk berkarir sebagai angkatan bersenjata. Aturan yang selama ini dipakai, sama sekali tidak bertujuan untuk membatasi wanita. Namun para wanita harus paham, bahwa diri mereka dalam hal tertentu memang terbatas. Tidak mungkin negara menggunakan wanita sebagai tameng pertahanan negara, ide ini tidak akan memenuhi alasan-alasan empiris dan etis.

Perempuan mengalami fase menstruasi setiap bulannya selama kurun waktu tujuh hari. Kondisi fisik perempuan dalam masa ini, sangatlah tidak memungkinkan untuk mengirimnya sebagai prajurit perang yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Seorang angkatan bersenjata harus siap sedia kapan saja, tidak dibatasi tiga minggu dalam sebulan sedang satu minggu digunakan untuk libur karena masa haid. Belum lagi masa kehamilan, menyusui, dan sifat-sifat psikis perempuan yang justru akan membahayakan dirinya sediri dan juga keamanan nasional.

Dalam konteks seperti ini, dapat ditilik bahwa secara kodrati perempuan memang tidak untuk ditempatkan dalam bidang pertahanan. Pun negara telah menyediakan tempat bagi perempuan dengan karakteristik maskulin untuk berkarir di dunia kepolisian yang masih bisa mengkompromi sifat-sifat alami perempuan.

Contoh lain lagi, pemberian kuota bagi perempuan setidaknya 40% dalam kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Yang harus kita pahami, bahwa para pejabat yang duduk di bangku DPR merupakan mereka yang dipilih oleh rakyat, tentu atas dasar kapabilitas masing-masing individu.

Pemerintah sama sekali tidak membatasi gender dalam dunia politik. Semua pihak dikondisikan untuk bersaing secara sehat dan mereka yang terbaiklah yang akan terpilih. Jika kemudian yang menempati kursi didominasi oleh kaum pria, seharusnya ini menjadi koreksi tersendiri bagi kaum wanita. Pemberian kuota justru akan berakibat kurang maksimalnya kerja dewan, karena akan banyak orang-orang yang terpilih bukan karena kemampuannya melainkan karena kursi kosong yang sengaja disediakan.

Dua kasus di atas setidaknya mampu merefleksikan lemahnya konsep kesetaraan gender yang tengah diperjuangkan oleh pihak-pihak tertentu. Kini, perempuan telah dengan bebas mengenyam pendidikan, berkumpul dan berserikat, berkarir di berbagai bidang, menyuarakan pendapat, mendapat perlindungan atas kekerasan, apalagi yang kurang? Kami, kaum perempuan, tetaplah makhluk yang lemah dan butuh diistimewakan. Jangan paksa kami untuk setara.

Siti Kholifatul Rizkiah

Mahasiswi Multimedia University of Malaysia

Staf Bidang Hukum dan Advokasi Persatuan Pelajar Indonesia Malaysia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement