Jumat 04 Jan 2013 06:30 WIB

Pajak, Palak, Keplak...

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Gus Solah, sapaan Salahuddin Wahid, buru-buru memberikan klarifikasi. Pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, itu tersengat Maklumat Tebuireng yang dikeluarkan pada Kamis, 27 Desember 2012. Isi maklumat itu salah satunya adalah seruan untuk menunda pembayaran pajak. Ini karena tiap tahun pemerintah harus membayar bunga obligasi rekapitalisasi perbankan senilai Rp 60 triliun. Tentu saja dana pemerintah itu berasal dari pajak. Dana yang semestinya untuk menyejahterakan masyarakat itu justru digunakan untuk menanggung perilaku para pemilik bank yang tak becus mengelola dana banknya.

Pemerintah memang sudah terjebak pada perjanjian dengan IMF saat krisis moneter pada 1997-1998 lalu. Pemerintah mengambil alih tanggung jawab kekacauan dunia perbankan.

Namanya memang Maklumat Tebuireng, tapi sebetulnya itu bukan sikap lembaga Pondok Pesantren Tebuireng. Kebetulan saja lembaga itu ketempatan sebuah pertemuan yang membahas soal pajak. Yang hadir tak sembarangan, di antaranya mantan Komandan Puspom Mayjen TNI Purn Syamsu Djalal dan mantan petinggi intelijen Mulyo Wibisono. Hadir pula adik Gus Solah, Lily Wahid, anggota DPR dari Golkar.

Jika kita mencermati isinya, kita akan mendapati logika yang coba disambungkan pada hasil pembahasan para ulama pesantren. Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, pada 14-18 September 2012 lalu membuahkan rekomendasi soal pajak. Isinya: “PBNU perlu mengkaji dan mempertimbangkan mengenai kemungkinan hilangnya kewajiban warga negara membayar pajak ketika pemerintah tidak dapat melaksanakan rekomendasi kedua poin di atas.”  Dua poin itu intinya adalah pajak harus untuk memaslahatan fakir miskin dan tak ada kebocoran pajak. Dalam pengantarnya, rekomendasi itu menyebutkan bahwa berdasarkan Alquran dan hadis pungutan yang wajib dibayar adalah zakat. Sedangkan kewajiban membayar pajak lebih karena faktor ketaatan pada pemerintah.

Keharusan bersikap amanah terhadap dana negara makin urgen. Ibukan saja karena itu sudah keharusan, tapi juga karena peran pajak yang makin signifikan. Di masa Orde Baru pendapatan negara sebagian besar bukan dari pajak. Kini porsi pajak terus membesar. Pada 2012, pajak menyumbang 75 persen dari APBN. Targetnya sekitar Rp 885 triliun. Dirjen Pajak Fuad Rahmani memperkirakan target itu tak tercapai. Mungkin di kisaran 95 persen saja dari target. Namun demikian, target penerimaan pajak tahun ini tetap dinaikkan, menjadi Rp 1.036 triliun atau 77 persen dari nilai APBN 2013. Jika ekonomi terus membaik, porsi pajak terhadap APBN akan terus meningkat.

Meski porsi pajak terus meningkat, sebetulnya potensi nilai pajak yang belum tertagih masih dua kali lipatnya. Berdasarkan keterangan dirjen pajak, pembayar pajak institusi baru 10 persen dari potensi. Sedangkan pembayar pajak perorangan baru 40 persen dari potensi. Ada banyak faktor tentang masih tingginya potensi pajak yang belum tertagih. Salah satunya adalah jumlah penagih pajak yang masih sedikit. Praktis hanya ada enam ribu account representative (penagih pajak), dari total 32 ribu karyawan perpajakan. Jumlah ini stabil sejak 2006. Hal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara lain. Jerman memiliki 110 ribu penagih pajak, Jepang 64 ribu, atau Australia 23 ribu. Karena itu tak heran jika ada satu penagih pajak yang menangani hingga 10 ribu wajib pajak.

Pada sisi lain juga ada ketidakadilan. Para karyawan atau pegawai yang bergaji kecil harus kena pajak. Jumlah total pekerja saat ini sekitar 110 juta orang, sebagian besar tentu pegawai kecil. Sedangkan para pedagang di Mangga Dua atau Tanah Abang  atau di pusat-pusat perbelanjaan di seluruh Tanah Air yang beromzet miliaran rupiah justru tak kena pajak. Karyawan yang bergaji di atas Rp 1,32 juta per bulan sudah harus bayar pajak. Meski tahun ini penghasilan kena pajak dinaikkan menjadi di atas Rp 2 juta per

bulan, tetap saja ada ketidakadilan.

Di tengah gencarnya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak yang harus kita dukung ini, kita juga harus terus mengkritisi soal perpajakan. Munculnya suara-suara untuk memboikot atau menunda membayar pajak akibat kekecewaan publik terhadap negara dan aparat pajak. Selain ada penyelewengan oleh petugas pajak – kasus Gayus Tambunan hanyalah puncak dari gunung es – juga karena ketidakamanahan penggunaan dana pajak.  Di sisi kedua ini ada masalah korupsi, juga ada masalah kebijakan yang tak berpihak pada rakyat. Masalah keberpihakan ini bentuknya mulai dari habisnya anggaran untuk biaya rutin -- seperti untuk honor (bukan gaji lho), fasilitas dinas seperti kendaraan, maupun operasional – juga kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang.

APBN kita pada 2013 ini hampir Rp 1.600 triliun. Bandingkan dengan di masa Orde Baru yang masih di kasaran Rp 300 triliun. Namun kita mendapati tak banyak perbaikan fasilitas dan layanan umum yang berubah signifikan. Contoh sederhana: di akhir masa Soeharto, marka jalan nasional di Jawa relatif terpenuhi. Kini, justru banyak jalan nasional yang tak memiliki marka jalan. Lalu ke mana habisnya anggaran yang naik berlipat-lipat itu? Para pengambil kebijakan tak 'dikendalikan' publik luas tapi oleh segelintir pemilik modal dan pemegang kekuasaan. Mereka menentukan arah aliran uang APBN. Inilah apa yang disebut kongkalikong.

Pajak masih menjadi arena pemalakan oleh petugas pajak, pengelola dan pengguna anggaran, serta segelintir pemilik modal. Tak salah jika kita mengeplak mereka.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement