Senin 24 Dec 2012 05:30 WIB

Islam Versus Liberal-Sekuler

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Islam yang dimaksud adalah partai-partai Islam di Mesir. Partai-partai ini, setelah kemenangan revolusi rakyat yang menggulingkan Presiden Husni Mubarak pada 25 Januari 2011, lalu membentuk koalisi. Dipimpin Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), sayap politik organisasi Ikhwanul Muslimin, koalisi ini antara lain beranggotakan partai-partai bentukan kelompok Salaf dan ormas-ormas Islam lainnya.

Sedangkan, liberal-sekuler adalah mereka yang menginginkan demokrasi yang diterapkan di Mesir mengikuti model Barat. Yakni, negara tidak boleh campur tangan dalam urusan-urusan individu, terutama yang terkait dengan masalah agama.

Pada awalnya mereka--kelompok Islam dan liberal-sekuler--bersatu padu dalam aksi-aksi unjuk rasa untuk menggulingkan rezim Presiden Mubarak dan menentang kekuasaan militer. Namun, setelah sang presiden yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu tumbang, mulailah muncul friksi atau perbedaan di antara mereka. Terutama yang menyangkut penyusunan konsitusi baru negara.

Perbedaan-perbedaan ini semakin menajam saat berlangsung pemilihan anggota parlemen, pemilu presiden, dan referendum terhadap konstitusi baru. Kini mereka sepertinya sudah saling berhadapan dan sulit dipertemukan. Atau istilahnya head to head: kelompok Islam versus liberal-sekuler.

Di dalam politik tampaknya memang berlaku sebuah ungkapan tidak ada yang namanya musuh atau teman abadi, yang abadi adalah kepentingan. Dan, demi kepentingan ini pulalah kelompok liberal-sekuler yang pada mulanya terdiri dari anak-anak muda aktivis aksi-aksi unjuk rasa melawan rezim Mubarak, kemudian membentuk koalisi yang dinamakan Front Penyelamat Nasional (NSF).

Mereka, koalisi bentukan kelompok liberal-sekuler ini, demi ‘sebuah kepentingan’ pun kemudian tidak malu-malu lagi untuk bergandeng tangan dengan siapa saja. Termasuk dengan kelompok fulul, yaitu orang-orang dari rezim Husni Mubarak yang belum genap dua tahun lalu merupakan musuh bebuyutan mereka. Alias, orang-orang yang sangat mereka benci.

Sekali lagi, kepentingan bertemu kepentingan. Orang-orang fulul membutuhkan kelompok liberal-sekuler karena yang terakhir ini dikenal masyarakat sebagai reformis progresif. Sebaliknya, untuk tujuan politik, kelompok liberal-sekuler memerlukan fulul lantaran pengalaman politiknya yang panjang. Termasuk dalam menggerakkan para baltajiyah alias para preman untuk menimbulkan kerusuhan dan kegaduhan dalam aksi-aksi unjuk rasa.

Selain kelompok liberal-sekuler dan fulul, tergabung pula dalam NSF ini adalah mereka yang kalah dalam proses demokrasi. Baik untuk pemilu presiden maupun pemilihan anggota parlemen. Mereka antara lain kelompok pendukung Jamal Abdul Nasir (mantan presiden), kaum sosialis, komunis, dan kelompok pendukung nasionalisme Arab.

Di antara tokohnya adalah Muhammad Elbaradai (pemenang hadiah Nobel), Hamdin Sobahi (loyalis terhadap Jamal Abdul Nasir), Ahmad Syafik (mantan PM di era Presiden Mubarak), Amr Musa (mantan menlu di era Mubarak). Dengan bergabungnya kelompok-kelompok kepentingan ini, perlawanan NSF kini bukan sebatas terhadap rancangan konstitusi baru.

Tapi, sudah berkembang menjadi perlawanan terhadap dominasi kelompok Islam di panggung politik dan demokrasi di Mesir. Karena, kalau menyoal rancangan konstitusi baru, menurut sejumlah ahli hukum tata negara setempat, perbedaannya dengan yang sebelumnya sebenarnya tidak terlalu prinsipil, terutama yang menyangkut agama.

Misalnya, dalam konstitusi sekarang antara lain tertera jelas, negara berhak dalam mengembangkan dan menjaga kesucian agama. Berikutnya, lembaga Al Azhar diberi peran sebagai konsultan terkait dengan Islam. Dua hal ini merupakan hal baru dalam rancangan konstitusi yang kini baru saja dimintakan pendapat ke rakyat (referendum).

Dengan kata lain, perbedaan atau konflik yang ada di dalam negeri Mesir kini bukan lagi soal konstitusi baru, namun lebih politis. Yaitu, perebutan kekuasaan antara yang menamakan diri sebagai NSF--yang digerakkan kaum liberal-sekuler--dan kelompok-kelompok Islam yang dimotori Ikhwanul Muslimin dengan sayap politiknya, Partai Kebebasan dan Keadilan.

Penolakan terhadap rancangan konstitusi, referendum, dan hasilnya hanyalah alat untuk mendelegitimasi kekuasaan kelompok-kelompok Islam. Kita belum tahu bagaimana akhir dari persaingan politik dan perebutan kekuasaan ini. Referendum yang telah dilaksanakan dalam dua tahap, tanggal 15 dan 22 Desember ini, hasilnya baru diumumkan secara resmi hari ini.

Namun, bila merujuk hitungan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, sekitar 71 persen rakyat Mesir yang mengikuti referendum tahap kedua menyatakan "Na’am" alias setuju, dan hanya 29 persen yang menyatakan "Laa" alias menolak. Sedangkan pada tahap pertama, yang setuju sekitar 54 persen dan yang menolak 46 persen.

Bila hasil resmi tidak terlalu jauh dengan hasil yang dikeluarkan Ikhwanul Muslimin, berarti rancangan konstitusi akan segera dilaksanakan menjadi undang-undang negara. Namun, bisa dipastikan kelompok oposisi yang tergabung dalam Front Penyelamat Nasional tidak akan tinggal diam.

Dengan kekuatan media massa, mereka--meskipun jumlahnya tidak sebesar kekuatan Islam--akan terus bersuara vokal mendelegitimasi kekuasaan kelompok-kelompok Islam.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement