Kamis 20 Dec 2012 06:30 WIB

Masa Depan Aswaja Indonesia

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Bagaimana masa depan Aswaja Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan terkait masa depan yang bernada pesimistis diajukan banyak audiens kepada saya sebagai pembicara dalam setidaknya tiga forum yang membahas kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah Indonesia sepanjang sebulan terakhir. Pertama, ‘Halaqah Pesantren tentang Aswaja’, Ditjen Bimas Islam, Jakarta (12/11); ‘Ahlus Sunnah wal Jama’ah Asia Tenggara‘, MABIMS-Ditjen Bimas Islam, Jakarta (11/12); dan ‘Inklusivisme dan Eksklusivisme Keagamaan: Merawat Aswaja, Menjaga Indonesia’, Program Pascasarjana UIN Alauddin Makasar (12/12).

Saya tidak tahu persis mengapa tema tentang Ahlus-Sunnah wal Jamaah Indonesia kembali menjadi topik pembicaraan. Bahkan, Republika edisi Jumat (14/12) menurunkan laporan khusus berdasarkan konferensi MABIMS-Ditjen Bimas Islam tadi. Bisa jadi pertanyaan bernada pesimistis itu muncul, karena melihat gerak berbagai kelompok Muslim yang umumnya berorientasi transnasional dan berusaha menyebarkan paham serta praktik Islam yang tidak kompatibel dengan religio-ideologis dan tradisi kaum Suni Indonesia umumnya.

Aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah biasa disingkat Sunah atau Suni memiliki sejarah yang panjang dan akar yang dalam di Indonesia. Sejak Islam menyebar secara masif mulai akhir abad ke-12, aliran yang dominan adalah Suni. Konsolidasi yang membuat kian kokohnya aliran Ahlus Sunnah wa Jama’ah terjadi sejak abad ke-17 dan kurun-kurun berikutnya ketika murid-murid Jawi, antara lain, ‘Abdurrauf al-Singkili, Muhammad Yusuf al-Makassari, dan Muhammad Arsyad al-Banjari, yang menuntut ilmu di Makkah dan Madinah kembali ke nusantara.

Terlibat dalam jaringan ulama kosmopolitan yang berpusat di Haramayn, mereka memperkokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui kitab-kitab mereka yang penuh dengan rujukan ulama terkemuka dan otoritatif Suni. Walhasil supremasi dan hegemoni Suni tidak hanya bertahan, tetapi bahkan menguat dari waktu ke waktu. Berbagai tantangan, sejak dari dinamika intra-Islam dan bahkan antaragama; kondisi politik tidak kondusif; globalisasi dan transnasionalisme; sampai kepada kesulitan ekonomi dan sosial budaya tidak mampu menggoyahkan hegemoni aliran dan kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah Indonesia.

Tapi penting dicatat, istilah dan kandungan atau substansi Ahlus Sunnah wal Jama’ah Indonesia tidaklah monolitik dan seragam. Sebaliknya, terdapat keragaman, yang terkandung dari pendekatan dan tekanan yang diberikan pada aspek tertentu paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sendiri. Kaum Suni Indonesia pada dasarnya memegang tiga prinsip keagamaan pokok yang menjadi dasar pemahaman dan tradisi keislaman mereka, yaitu kalam (teologi) Asy’ariyah, mazhab fikih yang empat dengan prioritas mazhab Syafi’i, dan tasawuf.

Dalam kaitan kalam, kaum Suni Indonesia mengikuti teologi Asy’ariyah yang dalam batas tertentu juga diwarnai paham Jabariyah, percaya pada qadha dan qadar. Sebaliknya, menolak kalam Mu’tazilah yang berkombinasi dengan Qadariyah yang memberi banyak keunggulan kepada akal dan kemampuan manusia ‘menciptakan’ takdirnya sendiri. Umumnya, kaum Suni Indonesia secara konvensional mengikuti mazhab fikih Syafii, walaupun ada di antara mereka yang menekankan sikap ‘tidak bermazhab’.

Artinya, mereka bebas mengambil ketentuan fikiyah dari mazhab empat, atau melakukan ijtihad sendiri. Tetapi, dalam praktiknya, mereka ini umumnya menjalankan ketentuan fikih Syafii. Kaum Suni Indonesia juga pada dasarnya menerima tasawuf. Ada yang mempraktikkannya secara pribadi dan ada pula yang menjalankan melalui tarekat mu’tabarah, yang sesuai ketentuan syariah dan fikih serta memiliki silsilah yang berkesinambungan. Kepenganutan seperti itu menimbulkan perbedaan-perbedaan furu’iyah tertentu di antara berbagai kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah Indonesia.

Dalam konteks itu, mereka semua pada dasarnya adalah penganut Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bisa ‘Aswaja’. Tetapi, istilah terakhir ini umumnya terkait dengan NU, bahkan telah menjadi brand name organisasi Nahdliyin. Sebaliknya, Muhammadiyah, meski juga merupakan bagian integral Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak pernah menyebut diri atau disebut kalangan lain sebagai ‘Aswaja’. Perbedaan-perbedaan tertentu di antara kaum Suni Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir kian mengecil berkat konvergensi yang intens.

Masalahnya bukan lagi di antara NU dan Muhammadiyah yang merupakan arus utama Muslim Indonesia. Sebaliknya, tantangan datang dari kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menekankan ‘Islam puritan’, yang menolak berbagai paham dan tradisi Islam yang lazim di kalangan arus utama Suni Indonesia, seperti maulid Nabi, tahlilan, dan berbagai bentuk tradisi religio-kultural lain. Semua ini mereka anggap sebagai ‘bid’ah dhalalah’ belaka yang dapat berujung di neraka.

Dalam pandangan saya, tantangan seperti itu meski noisy, tetapi tidak bakal dapat mengubah wajah Islam Indonesia. Paradigma teologis, hukum, dan spiritualitas Ahlus Sunnah wal Jamaah terlalu besar dan kuat untuk bisa diubah. Lagi pula, sosiologi masyarakat Muslim Indonesia tidak kondusif bagi bentuk pemahaman Islam spartan dan primitif.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement