Sabtu 15 Dec 2012 07:45 WIB

Genap Ganjil, Solusi Murah Atasi Macet

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia

Sejak wacana genap ganjil diajukan untuk mengatasi macet beberapa tahun lalu, saya langsung menangkap gagasan tersebut sebagai ide brilian. Sekalipun sempat dilupakan, saya percaya kebijakan itu layak dicoba.

Karena itu, dalam beberapa kesempatan diskusi, saya terus memperjuangkan ide itu, termasuk menyampaikannya kepada Pak Jokowi ketika bertemu dalam forum terbatas beberapa hari sebelum terpilih. Alhamdulillah kini wacana itu kembali bergulir, semoga dapat direalisasikan.

Bagi yang belum familiar, konsep genap ganjil adalah kebijakan untuk membatasi beroperasinya kendaraan berpelat genap dan ganjil pada hari dan mungkin jam tertentu. Secara sederhana, menurut saya, bisa dilaksanakan berdasarkan tanggalan.

Kecuali Sabtu, Ahad, atau hari libur, kendaraan dengan pelat angka akhir nomor genap, misalnya, hanya boleh beroperasi di tanggal genap. Kendaraan berpelat nomor akhir ganjil hanya boleh beroperasi di tanggal ganjil. Pemilihan tanggal sebagai kriteria sangat praktis dan adil karena perbedaan jumlah tanggal genap dan ganjil hanya selisih dua hari dalam setahun.

Terkait di mana kebijakan ini diterapkan, jika ingin terasa benar manfaatnya, seharusnya genap ganjil diberlakukan di seluruh jalan raya yang mempunyai trayek kendaraan umum, termasuk jalan tol. Kalau diterapkan setengah-setengah, seperti di jalan protokol, kemacetan hanya berpindah lokasi. Pemborosan bahan bakar tetap berlangsung karena semua mobil akan berdesakan di jalan tikus atau jalan alternatif.

Apakah semua kendaraan akan terkena genap ganjil? Ada usulan truk, bus, dan kendaraan niaga dibebaskan agar tidak mengganggu kegiatan ekonomi. Saya sepakat. Ada juga permintaan agar motor tidak disertakan, mungkin bisa asalkan jumlah kendaraan roda dua yang semakin banyak ini terus dievaluasi hingga tidak menyebabkan kemacetan.

Beberapa teman sempat mempertanyakan antusiasme saya terhadap gagasan genap ganjil. Sejauh ini, menurut saya, berbagai cara konvensional untuk mengatasi kemacetan Jakarta sudah dilakukan, tapi belum ada yang berhasil. Saatnya mencoba cara yang terkesan radikal, tapi sebenarnya memiliki perhitungan dan bukan sekadar nekat. Ide genap ganjil bagi saya luar biasa karena beberapa alasan. Pertama, kebijakan ini murah, nyaris tanpa biaya. Bisa dilaksanakan tanpa investasi atau infrastruktur baru.

Logikanya, kemacetan yang berlangsung telah memboroskan dana besar. Ada yang menyebutkan Rp 10 triliun, Rp 25 triliun. Bahkan dengan social cost, waktu produktif, serta potensi investasi yang hilang, pemborosan akibat macet konon bisa mencapai Rp 60 triliun per tahun.

Jika konsep genap ganjil berhasil, puluhan triliun rupiah setiap tahun akan dihemat. Dana penghematan itu bila digunakan untuk membangun jalan, terbayang berapa ratus kilometer jalan baru akan terbentang. Penting bagi Pemda DKI nantinya melobi pemerintah pusat untuk mendapatkan kompensasi atas jatah subsidi yang berkurang.

Alasan kedua, mungkin. Kebijakan ini mungkin untuk dijalankan karena seluruh komponen yang dibutuhkan sudah tersedia, tinggal membangun koordinasi dan sistem. Soal perlunya banyak personel, polisi mempunyai ribuan anggota nonlalu lintas yang bisa diperbantukan, belum lagi ribuan tentara. Ketika semua menyamakan persepsi dan menganggap pemborosan adalah musuh negara, maka melibatkan seluruh elemen kekuatan bangsa adalah hal wajar.

Alasan ketiga, mudah. Dibanding membuat jalan, jembatan, monorail, sebagai awal kebijakan genap ganjil jauh lebih mudah. Apalagi, dengan sudah adanya busway. Tentu saja tidak ada konsep tanpa tantangan. Sosialisasi dan meyakinkan masyarakat ini solusi paling mungkin adalah tantangan pertama.

Meminta tokoh dan pemegang kebijakan agar mendukung kebijakan genap ganjil merupakan tantangan kedua. Masih ada sebagian yang ragu dengan alasan siapa saja bisa membeli mobil kedua. Tapi, berapa banyakkah anggota masyarakat yang bisa dengan mudah membeli kendaraan roda empat? Jumlahnya tetap tidak signifikan.

Tantangan ketiga adalah mengantisipasi pelanggaran. Mungkin ada yang mencoba pelat palsu. Harus dibuat sistem yang mempermudah petugas menegakkan peraturan, seperti mempertegas pelat ganjil dan genap dengan warna berbeda, mungkin?

Petugas harus diberi kemampuan dan sistem untuk menilang dalam hitungan detik. Cukup menyita STNK sambil memberi tiket yang berisi nomor seri di mana mereka bisa menebus STNK tersebut.

Tantangan lain adalah koordinasi dengan pengusaha untuk menambah transportasi publik yang baru dan nyaman guna mengantisipasi penambahan penumpang. Lalu, kesiapan menyediakan alat transportasi umum jika swasta masih tidak cukup. Jika perlu turunkan mobil pemerintah, truk polisi dan tentara untuk mengatasi kekurangan transportasi di awal.

Belajar dari kegagalan penerapan konsep ini di Korea Selatan dan Afrika, yang salah satu alasannya karena transportasi publik tidak sanggup menampung. Jika tantangan ini terjawab dan dalam minggu pertama sudah terasa manfaatnya, insya Allah Jakarta tanpa macet bukan lagi impian.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement