Jumat 14 Dec 2012 05:30 WIB

Zainuddin Ma...Edun

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Pada tahun 1997, saya pernah bertemu Zainuddin Maidin. Saat itu saya mengikuti rombongan ICMI untuk bertemu IKIM (Institut Kefahaman Islam Malaysia), sebuah organisasi yang disponsori PM Malaysia saat itu, Mahathir Mohamad. Dalam kesempatan itu saya berkenalan dengan Zainuddin, pemimpin redaksi Utusan Malaysia, koran terbesar Malaysia saat itu. Koran yang memiliki kaitan dengan partai berkuasa UMNO. Ia mengundang saya untuk menghadiri acara peluncuran buku yang ia tulis: Tun Razak, Jejak Bertapak Seorang Patriot. Sebuah buku biografi Razak, ayah Najib Razak, PM Malaysia saat ini. Peluncuran itu dilakukan oleh Mahathir.

Razak adalah mentor Mahathir. Dialah yang menarik Mahathir kembali ke UMNO. Mahathir sebelumnya dipecat (1969) dari UMNO di masa Tunku Abdul Rahman. Di masa Razak itulah kebijakan New Economic Policy (NEP) diterapkan (1971). NEP adalah kebijakan yang mengubah Malaysia. Suatu kebijakan afirmatif atau pemihakan terhadap pengusaha Melayu. Mahathir adalah pendukung utamanya, karena itu ia dipercaya menjadi menteri (1972). Selanjutnya Mahathir menjadi perdana menteri, dan dia mengangkat Najib menjadi menteri. Zainuddin juga diangkat menjadi menteri penerangan di masa terakhir kepemimpinan Mahathir.

Kebijakan afirmasi itu sebelumnya pernah diterapkan di Indonesia di masa Sumitro Djojohadikusumo lewat Program Benteng (1950-1957). Namun kebijakan itu gagal, karena terjadi praktik Ali-Baba. Kita tidak tahu apakah Mahathir terinspirasi oleh kebijakan ini atau tidak. Namun dalam bukunya yang fenomenal, The Malay Dilemma (1970), terdapat istilah Ali-Baba dan Gotong Royong, istilah yang berasal dari Indonesia. Buku itu menjadi semacam kredo bagi lahirnya NEP.

Yang pasti, dua negara ini saling memengaruhi. Karena itu, di suatu masa, ketika wacana di Indonesia terdominasi penuh oleh ekonomi asing dan nonpribumi, para pejuang ekonomi pribumi di Indonesia sering mengundang Mahathir untuk berceramah di Indonesia. Tujuannya jelas untuk menggelorakan wacana pentingnya pemihakan pada ekonomi pribumi. Hal itu semata-mata untuk meningkatkan daya tekan dan memenangkan wacana dengan meminjam pengalaman dan keberhasilan Malaysia. Pernyataan-pernyataan Mahathir sering menjadi headline di media massa Indonesia. Bahkan Mahathir pernah dijuluki sebagai Sukarno Kecil. Sejumlah pihak di Indonesia juga gemar mengundang Anwar Ibrahim, sejak menjadi deputi PM di Malaysia hingga kini. Anwar menjadi juru bicara yang fasih tentang civil society, demokrasi, dan kebangkitan Asia. Bahkan istilah masyarakat madani sebagai terjemahan civil society, seperti kata penelitis LP3ES, almarhum Aswab Mahasin, diadopsi menjadi bahasa Indonesia berkat introduksi oleh Anwar. Kita sebelumnya menggunakan istilah masyarakat sipil, masyarakat warga, dan masyarakat kewargaan.

Interaksi intelektual kedua masyarakat memang memiliki sejarah yang panjang. Sejarah sastra Indonesia dan Malaysia sebagian memiliki akar yang sama. Karena itu pernyataan Mahathir ataupun Anwar, bahkan di masa rezim otoriter Orde Baru sekalipun, sama sekali tak menimbulkan ketersinggungan sebagian pihak. Pluralitas masyarakat Indonesia tak membuat pihak yang tak bersepakat dengan Mahathir maupun Anwar harus menjadi marah. Walaupun mereka menyadari penuh bahwa kehadiran dua orang itu di Indonesia menjadi alat pemukul suatu kelompok ke kelompok lain. Hal itu hanya menjadi dinamika. Sejarah panjang interaksi intelektual kedua negeri dan penghargaan pada pluralitas menjadi basis bagi kesalingpahaman. Di masa lalu, ketika Malaysia baru merdeka, mereka mendatangkan guru-guru dari Indonesia. Pelajar dan mahasiswa mereka juga dikirim ke Indonesia. Namun ketika Malaysia lebih maju dari Indonesia, maka giliran mahasiswa dan pelajar Indonesia yang belajar di Malaysia.

Kini, tiba-tiba Zainuddin Maidin menjadi kalap dan linglung. Ia seakan tak memahami sejarah panjang kedua negeri. Dalam tulisannya ia mengatai BJ Habibie sebagai pengkhianat bangsanya dan anjing imperialisme. Suatu tuduhan yang kasar dan salah alamat. Sebabnya sederhana saja. Habibie diundang Anwar Ibrahim atau pendukungnya untuk ceramah di Universitas Selangor, Malaysia. Di tempat ini pasti Habibie berbicara tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan semacamnya. Karena memang itulah isi kepala Habibie. Sebagai kepala negara yang membangun fondasi transisi demokrasi di Indonesia, Habibie sangat berkontribusi. Pengalaman itulah yang diutarakan di Malaysia. Namun dalam konteks politik Malaysia saat ini, hal itu berarti mendukung Anwar Ibrahim. Karena itu, saat ditanya wartawan, Zainuddin menyebut ceramah Habibie itu sebagai campur tangan asing. Sungguh cara berpikir yang dangkal, picik, dan tak berkelas.

Pada sisi lain, masyarakat Malaysia juga sedang mengidap sindrom petruk munggah bale. Ada gegar kepribadian akibat kemajuan ekonomi yang mereka raih. Selain itu, kehadiran TKI di Malaysia menimbulkan persepsi negatif. Selama ini, dalam persepsi warga Malaysia, Indonesia adalah saudara tua yang lebih pandai dan lebih maju. Namun mereka mendapati TKI yang miskin, tak berpendidikan, dan dalam beberapa kasus bisa mereka hina dina. Secara psikologis hal itu menimbulkan efek over value terhadap diri sendiri. Seperti kata Ginandjar Kartasasmita, pernyataan Zainuddin itu mencerminkan sikap warga Malaysia terhadap Indonesia: melecehkan dan merendahkan.

Namun bagi kita, yang sudah lebih dulu menjadi negeri demokratis, hanya ada satu penjelasan: peradaban demokrasi Malaysia masih tertinggal jauh di belakang dibandingkan Indonesia. Mereka harus belajar lebih baik lagi tentang kebebasan berpendapat dan menghargai kemanusiaan. Kemajuan ragawi Malaysia belum diikuti keluhuran budi.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement