Rabu 05 Dec 2012 11:33 WIB

Negara Lemah

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif

Ledakan partisipasi massa dalam fase transisi menuju demokrasi sering berujung kekecewaan, ketika hiruk pikuk perdebatan politik tidak punya persambungan dengan output pemerintahan. Oleh karena itu, ujung prosesi demokrasi harus bermuara pada perbaikan tata kelola kenegaraan yang sepadan dengan tuntutan demokratis.

Birokrasi negara saat ini dihadapkan pada tantangan yang serius dari arus globalisasi dan demokratisasi, yang memengaruhi secara mendalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menuntut adanya peninjauan ulang terhadap segala pengandaian dan pelaksanaan birokrasi konvensional agar lebih responsif terhadap dinamika perubahan.

Globalisasi merongrong kedaulatan negara. Dan, hal itu terjadi ketika politik Indonesia sedang bertransformasi menuju demokrasi, yang menghendaki penguatan otosentrisitas (kedaulatan) negara untuk merespons meluasnya tuntutan rakyat.

Tanpa otosentrisitas, transisi menuju demokrasi acapkali sekadar membuat pendulum sejarah berayun dari situasi otoriter menuju situasi tanpa otoritas. Padahal, demokrasi memang bermaksud menghilangkan yang pertama, namun tak bisa ditegakkan tanpa yang kedua. Dan, hari-hari ini kita menyaksikan aneka peraturan dan pembangunan tak jalan karena lemahnya wibawa otoritas.

Lemahnya wibawa otoritas ini ditandai tiadanya aparatur penggaransi kepastian akibat terjadinya pengembangbiakkan kelembagaan negara serta penyebaran pusat-pusat kekuasaan dengan batas kewenangan yang kabur. Selain itu, berbagai undang-undang dibuat secara tumpang tindih dengan diwarnai konflik horizontal dan vertikal antara lembaga-lembaga kenegaraan.

Melemahnya otoritas negara ini, antara lain, karena kita tidak cukup konsisten dengan prinsip-prinsip reformasi. Dalam kaitan ini, Joseph Stiglitz menekankan perlunya kehati-hatian dan langkah bertahap dalam usaha reformasi. Karena reformasi yang dijalankan secara tergesa-gesa dalam skala yang masif, akan melampaui kepasitas administrasi negara untuk menanganinya.

Dalam banyak hal, gerakan reformasi di Indonesia justru terlalu luas cakupannya dan terlalu cepat pelaksanannya, tanpa perhitungan yang matang mengenai dampak ikutan dan prasyarat yang harus dipenuhinya. Pelbagai institusi dan peraturan baru dibuat dengan penegakan yang lemah, namun telah cukup menimbulkan kekusutan dan ketidakpastian bagi para pelaku terkait.

Di masa Orde Baru, luasnya cakupan kendali negara (state scope) masih bisa diimbangi oleh kapasitas negara (state capacity) untuk melakukan penegakan (enforcement). Kendati hal ini tidak berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional, melainkan lewat represi negara. Di era Reformasi, cakupan negara tetap luas, bahkan jauh lebih luas akibat adanya pelipatgandaan institusi negara dan otonomi daerah.

Namun, terjadi penurunan dalam kapasitas negara untuk menegakkan otoritas.

Situasi demikian dikenal sebagai gejala “negara lemah” (weak sate). Suatu performa negara yang sulit menegakkan kedaulatan ke luar dan ke dalam, yang mudah tunduk pada dikte-dikte pasar dan kekuatan-kekuatan internasional.

Salah satu contoh dari kelemahan negara pasca Orde Baru adalah munculnya aneka peraturan daerah (perda) yang bertabrakan dengan peraturan di atasnya dan mengingkari rasionalitas publik. Aneka perda yang dikeluarkan ini bukannya memberikan kemudahan, justru sebaliknya menjadi beban bagi pelaku usaha.

Sejak otonomi daerah digulirkan pada 2000, muncul ribuan perda dan retribusi daerah yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga mengganggu pertumbuhan ekonomi, baik lokal maupun nasional. Regulasi di Indonesia juga dinilai sangat lemah. Dan, ini nyaris mencakup semua aspek. Sebutlah, regulasi di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, perizinan, kepemilikan properti, dan investasi. Regulasi yang lemah menyebabkan ketidakpastian hukum. Dalam ketidakpastian ini, pungutan liar dan berbagai tindak korupsi merajalela. Namun demikian, ada tanda yang membuat kita bisa optimistis.

Kendati kebijakan dan pelaksanaan otonomi daerah masih mengandung banyak kelemahan, perluasan partisipasi politik telah menimbulkan dampak positif. Salah satunya adalah perluasan kesempatan berusaha bagi para pelaku bisnis di daerah. Tanda-tandanya bisa dilihat dari pertumbuhan pasar modern, tingkat hunian hotel, persebaran ATM, jumlah dan tujuan penerbangan, serta banyak pengusaha daerah yang bermetamorfosis menjadi penguasa nasional, bahkan internasional, dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya lokal.

Dengan kata lain, ada kesempatan maju dalam kesempitan. Apalagi, jika kesempitan yang ditimbulkan oleh kelemahan birokrasi pemerintahan ini bisa diperbaiki. Di masa depan, iklim berusaha di daerah ini akan lebih sehat jika otoritas regulasi negara berjalan secara fungsional dan proporsional, korupsi diberantas, dan layanan birokrasi diperbaiki. Intinya, kita memerlukan reformasi birokrasi pemerintahan secara lebih serius.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement