Selasa 27 Nov 2012 14:14 WIB

Guru, Antara Kesejahteraan dan Kapasitasnya

Uji kompetensi guru
Foto: antara
Uji kompetensi guru

 

Guru menjadi kata suci bagi sebuah bangsa. Di tangan para gurulah karakter suatu bangsa dibentuk. Peran guru sangatlah penting. Apalagi mengingat tahun 2030, McKinsey memprediksikan bahwa perekonomian Indonesia akan menempati urutan ke-7 ekonomi dunia, mengalahkan Jerman dan Inggris. Itu artinya, Indonesia butuh sumber daya manusia yang berkompeten dan profesional. Masih ada waktu sekitar 18 tahun lagi.

Data demografi tahun 2010 menunjukkan, penduduk berusia 0-29 tahun berjumlah sekitar 120-130 juta jiwa. Pada tahun 2030, merekalah yang akan menjadi generasi penentu wajah peradaban Indonesia. Di sinilah peran guru sangat strategis dalam mendidik dan membentuk penduduk usia 0-29 tahun tadi. Pada titik ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa nasib suatu bangsa bergantung pada guru. 

Tapi kita akan miris ketika guru tidak diperhatikan kesejahteraannya. Di Semarang, ada guru yang hanya menerima gaji Rp 100.000 per bulannya. Ada juga seorang guru yang terpaksa menjadi pemulung atau tukang ojek demi menambah penghasilan, karena gaji sebagai guru tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Melihat kondisi seperti ini, pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dan kapasitas guru dengan politik kebijakan anggaran. Anggaran untuk gaji dan tunjangan guru sekarang telah meningkat secara signifikan.

Bagi guru PNS, ada sertifikasi yang tiap bulannya guru tersertifikasi mendapat tunjangan sebesar 1 kali gaji pokoknya. Sedangkan guru non-PNS mendapat tunjangan sebesar Rp 1.500.000 tiap bulan. Di Provinsi DKI Jakarta, tunjangan kinerja bagi guru cukup tinggi, yaitu sekitar Rp 3.000.000. Guru kini lebih sejahtera jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. 

Implikasinya yaitu meningkatnya jumlah peminat lulusan SMA/SMK untuk menjadi guru. Peminat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, peserta SNMPTN di Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2012 sebanyak 31.435 orang, meningkat dari tahun sebelumnya 31.207 orang. Di Universitas Negeri Medan trennya juga sama; Peserta SNMPTN pada tahun 2011 berjumlah 40.578 orang meningkat menjadi 43.834 orang pada tahun 2012. 

Di lapangan, kebutuhan terhadap PNS cukup tinggi. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk merekrut guru PNS.

Masalahnya adalah, guru yang terekrut tidak selalu sesuai dengan kapasitasnya. Yang diterima sebagai guru bukan lulusan dari FKIP, sehingga kemampuan pedagogik dan mentransfer ilmunya rendah. Hal ini juga salah satu faktor hasil uji kompetensi guru di daerah-daerah relatif rendah. Belum lagi jika kita bicara dedikasi.

Seorang guru dituntut untuk memiliki idealisme dan dedikasi yang tinggi. Menjadi guru berbeda dengan profesi lainnya. Seseorang ketika menjadi guru harus sadar bahwa tugasnya adalah mendidik dan membentuk karakter generasi penerus bangsa. 

Menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan, bahwa seorang guru harus memiliki kapasitas yang meliputi bakat, minat, panggilan jiwa, idealisme, komitmen, kualifikasi akademik, kompetensi dan tanggung jawab. Namun faktanya, masih banyak guru yang tidak memiliki kapasitas tersebut.

Ada guru yang secara kapasitas moral masih tidak memberikan teladan yang baik bagi peserta didik. Misalnya, masih ada guru yang bermain judi. Ada juga guru yang tidak bijak ketika kehilangan ponselnya, lalu menghukum semua siswa di kelas dengan denda masing-masing siswa Rp 100.000 untuk mengganti ponselnya yang hilang, dan masih banyak lagi. Bahkan, ada juga mahasiswa Fakultas Keguruan (calon guru-red) yang terlibat tawuran dengan mahasiswa lain. Termasuk juga kapasitas kompetensi. Masih banyak guru yang malas mengajar, tidak menguasai bidang ajarnya, tidak update informasi, tidak menguasai teknik belajar mengajar, dan seterusnya.

Namun di samping itu, banyak juga guru yang berhasil menunjukkan dedikasinya. Banyak di antara mereka yang berprestasi. Misalnya, ada guru yang mampu membuat alat peraga pendidikan yang menarik bagi siswa, guru yang berhasil mengubah perilaku siswanya dari buruk menjadi baik, guru yang mampu mengangkat derajat para pemulung sampah untuk sekolah dan kuliah, dan masih banyak lagi.

Filosofi mereka merupakan suatu kebahagiaan tersendiri, ketika anak didiknya mencapai kesuksesan melebihi dirinya. Jika hal ini terus ditanamkan kepada 2.9 juta guru di seluruh Indonesia, maka bukanlah mustahil prediksi McKinsey tadi akan terbukti, bahkan mungkin melebihi. Sekarang tinggal bagaimana kita, para guru, pendidik dan pengelola pendidikan mau atau tidak untuk mewujudkannya. Selamat Hari Guru!

Jakarta, 24 November 2012

Hormat saya,

Raihan Iskandar, Lc. MM.

Anggota Komisi X DPR RI

No. HP : 081362859566

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement