Jumat 05 Oct 2012 06:30 WIB

Dua Pendekar dari Malang

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Prof Dr Muhadjir Effendy dan Prof Dr Imam Suprayogo. Dua nama yang sudah menjadi jaminan dalam dunia pendidikan saat ini. Muhadjir adalah rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), sedangkan Imam adalah rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki), Malang.

Dua perguruan tinggi di Jawa Timur yang memiliki perkembangan yang pesat di Tanah Air. Imam sebelumnya adalah salah satu orang penting dan kemudian menjadi pembantu Rektor I UMM. Jadi, mereka lahir dari satu rumpun.

Nama UMM memang sudah moncer sejak masa kepemimpinan A Malik Fadjar (1983-2000), namun Muhadjir lebih mengembangkannya lagi. Ia juga salah satu orang penting dalam 'kabinet' Malik Fadjar. Ia menjadi pembantu rektor III selama 12 tahun dan pembantu rektor I selama empat tahun. Ia didaulat menjadi rektor sejak tahun 2000, ketika Malik Fadjar diangkat sebagai direktur jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama.

Kini, di tangan mantan wartawan itu, kondisi UMM sudah jauh berkembang pesat. Ia membangun rumah sakit, hotel, dan pompa bensin. Ia juga membangun gedung serbaguna UMM Dome, gedung kuliah bersama I dan II, serta pembangkit listrik tenaga mikrohidro.

Saat ini, jumlah mahasiswa UMM sekitar 29 ribu orang yang tersebar di 10 fakultas dan 43 program studi. Padahal, saat ini sebagian perguruan tinggi swasta rontok akibat keleluasaan perguruan tinggi negeri dalam menerima mahasiswa baru. Mereka tak lagi dibatasi secara ketat seperti pada masa lalu. Hanya perguruan tinggi swasta yang sudah dipercaya masyarakat yang bisa bertahan dan bahkan justru makin meningkat pesat.

Ada satu kata kunci dari kesuksesan Muhadjir. Ia mengutamakan dana mandiri. Semua pengembangan itu murni dari dana mahasiswa. Memang, ada juga bantuan dari pihak ketiga, namun yang dominan adalah dana mahasiswa. Dia ingin menunjukkan bahwa membangun kampus dan perguruan tinggi yang besar dan berkualitas bisa cukup dengan mengandalkan dana mahasiswa. Tentu ini ironi dibandingkan perguruan tinggi negeri yang gemar menyerap dana APBN sekaligus berbiaya tak kalah mahal dengan swasta.

Kampus UMM memang elok dan nyaman. Banyak memiliki ruang terbuka, juga memiliki pemandangan yang indah dan sejuk di dataran tinggi Malang. Namun, semua pembangunan fisik dan lanskap yang indah serta suasana yang nyaman tidaklah cukup. Karena yang jauh lebih penting, UMM bisa menghadirkan aura bahwa ini adalah kampus. Ada kegairahan dan kebebasan, ada suasana akademik. Dengan demikian, para dosen dan mahasiswa bisa mengembangkan diri. UMM tentu sudah meninggalkan kenangan pahit ketika pada 1974 sempat vakum.

Kampus yang berdiri pada 1964, berafiliasi ke Universitas Muhammadiyah Jakarta, sudah menjadi universitas besar. Website-nya pun sangat bagus dengan link jurnal-jurnal ilmiah yang mereka terbitkan.

Berbeda dengan Muhadjir, Imam merintis UIN dari awal sekali. Ia mengenang ketika ikut membangun UMM bersama Malik Fadjar. Kampus itu hanya memiliki 300 mahasiswa, tapi ketika ia tinggalkan sudah menjadi belasan ribu mahasiswa. Kini jumlah mahasiswanya sekitar 10 ribu orang. Jabatan terakhirnya di UMM adalah pembantu rektor I. Proses yang sama ia lakoni di tempat barunya. Ia diangkat sebagai rektor STAIN Malang pada 1997 dengan jumlah mahasiswa sekitar seribu orang.

Nama STAIN baru dilekatkan pada tahun itu karena sebelumnya bernama IAIN Sunan Ampel, semacam bagian dari IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pada 2004, namanya berubah lagi menjadi UIN Maliki. UIN merupakan kasta tertinggi dalam hierarki perguruan tinggi Islam negeri.

Tentu sangat menarik mengapa yang dipilih menjadi UIN bukan IAIN Sunan Ampel. Saat itu pemerintah sedang mengakselerasi perguruan tinggi Islam dengan membentuk UIN. Di setiap provinsi dibentuk satu UIN, dengan mengubah penamaan sebelumnya. Sebelum menjadi UIN Maliki Malang sempat bernama Universitas Islam Indonesia-Sudan pada 2002. Imam Suprayogo memang memiliki kelebihan dalam berdiplomasi.

Inilah kunci utama kesuksesannya. Melalui diplomasi yang unik, ia bisa menggaet dana-dana wakaf, multilateral, maupun pemerintah dari negeri-negeri Muslim. Seperti dari Sudan tersebut. Yang kini sedang ia genjot adalah menarik dana dari orang-orang kaya Arab Saudi. Jika ia bertamu ke Saudi, ia bisa mendapat perlakuan yang melebihi menteri. Hal itu yang sempat membuat dia kikuk jika datang bersamaan dengan menteri atau dirjen.

Sejak 2005, ia melakukan pembangunan besar-besaran kampus UIN. Di lahan yang tak luas, hanya sembilan hektare, ia sudah memenuhinya dengan gedung-gedung bertingkat --dulunya hanya gedung tak bertingkat. Tampak modern, megah, hijau, dan nyaman. Sebagian menggunakan dana APBN, multilateral dari Bank Pembangunan Islam, maupun dana wakaf dari Timur Tengah.

Hal yang menarik adalah nama-nama gedungnya: Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid. Semua nama-nama presiden. Kini ia sudah menyiapkan lahan seluas 100 hektare untuk pengembangan kampus di lahan yang terpisah dengan kampus saat ini. Ia sudah berhasil mendapat komitmen dana wakaf senilai Rp 1,7 triliun. Tapi, ia terkendala karena harus menyiapkan gambar detail yang nilainya sekitar Rp 45 miliar. Tak mudah ia mendapat dana APBN untuk itu.

Ia menggaet dana wakaf untuk institusi milik negara. Tentu aneh di negeri yang orangnya biasa menggangsir dana negara untuk kepentingan pribadi. Lalu mengapa dana wakaf itu bukan untuk membangun lembaga pendidikan untuk yayasan keluarga atau yayasan milik dirinya? Katanya, jika dana itu diarahkan untuk dirinya maka lembaga pendidikan yang ia bangun bisa menjadi rebutan keturunannya atau siapa pun. Tapi, jika dana itu dimasukkan ke lembaga negara maka lembaga itu akan aman dari perebutan karena itu milik negara.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement