Kamis 27 Sep 2012 15:12 WIB

Selamat Jalan Jamaah Haji Indonesia

Ibadah haji di Baitullah, simbol persatuan kaum Muslimin (Ilustrasi).
Foto: Antara
Ibadah haji di Baitullah, simbol persatuan kaum Muslimin (Ilustrasi).

Mulai minggu kemarin, Menteri Agama dan Menteri Perhubungan Republik Indonesia telah melepas jamaah haji Indonesia dari Bandara Soekarno Hatta. Hal ini sebagai formalitas dimulainya ibadah sanawiyah (tahunan), bagi muslim Indonesia yang mampu melakukannya.

Keberangkatan jamaah haji kabupaten/kota se-Indonesia, secara bergilir akan sampai ke Tanah Suci dalam waktu kurang lebih satu bulan. Jika mencermati jamaah haji yang mau berangkat, penulis merasa terdapat sisi-sisi penting dari perilaku jamaah yang penting kita perhatikan. Tentunya disamping sisi-sisi ubudiyahnya yang sudah paten. Misalnya, tentang seragam haji sebagai identitas bangsa ketika berkumpul dengan bangsa lain, uang saku yang tidak sedikit, bisnis transportasi haji, catering haji, bimbingan manasik haji sebelum berangkat selama setahun, masalah keimigrasian, dan masih banyak lagi sisi yang meliputi semua kebutuhan jamaah haji. 

Selain itu, ibadah haji di zaman modern sekarang kondisinya sudah berbeda dengan ibadah haji pada zaman Nabi Ibrahim. Ibadah haji sekarang sebenarnya sarat dengan nilai-nilai, baik nilai sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. Di antaranya dilihat dari ritual pakaian Ihram, larangan menumpahkan darah, Thawaf, dan Wuquf.

Sejatinya, substansi nilai tersebut bisa diimplementasikan dalam kehidupan sosialnya ketika kembali ke tanah air. Sehingga, secara fungsional bisa berperan dalam usaha untuk menuntaskan problem yang dihadapi bangsa ini yang semakin hari semakin komplek. Masalah ini dalam ilmu fikih dikenal istilah penarikan hikmah dari satu ibadah (hikmah at-Tasyri’), yang peranannya sama pentingnya dengan pelaksanaan ibadah itu sendiri. 

Haji Mabrur yang diinformasikan oleh syari’at, secara bahasa dan istilah mempunyai relasi kuat dengan kepedulian sosial. Kata "mabrur" yang berasal dari kata "bir" dalam bahasa Arab, diartikan sebagai kebaikan. Nah, dalam Alquran makna itu dilebarkan, bahwa kebaikan hanya diperoleh jika menafkahkan harta yang kita cintai untuk meringankan beban hidup orang lain di sekitar kita (QS ‘Ali Imran:9).

Begitu juga jika ditilik ibadah lainnya dalam rukun Islam setelah syahadat, sebagai pengakuan akan Tuhan dan Nabi, seperti shalat, puasa dan zakat. Spirit komunalitas Haji setidaknya menyimpulkan kekaguman, sekaligus kekagetan. Di tengah negeri yang masih terlilit krisis ekonomi, jumlah kuota haji tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan tahun ini grafiknya cenderung naik.

Anehnya, problem kemiskinan tidak berbanding lurus dengan spirit komunalitas tadi. Sejatinya, secara organik dan fungsional, ibadah haji memerankan dirinya dalam usaha untuk menuntaskan problem kemiskinan bangsa.  

Komunitas kaya yang mampu menunaikan haji dan telah berhaji, semestinya siap jadi agen penting (Agen of Change) dalam mobilitas kepedulian sosial. Secara individual, mereka mempunyai modal cukup dan sepulangnya dari perjalanan haji bisa memetik hikmah haji dengan merefleksikan “kesalehan sosial”-nya. Mendermakan sebagian harta untuk dhu’afa, sama derajatnya dengan mengeluarkan biaya ke Tanah Suci bagi orang yang mampu.

Makna luhur ibadah haji sarat dengan kepedulian sosial. Di antaranya, sbb:

1. Afirmasi terhadap ego pribadi atas sesama

Hal ini dibuktikan dengan penanggalan pakaian yang biasa dipakai, digantikan dengan hanya dua helai kain putih (kain ihram). Bukankah pakaian dalam prakteknya telah melahirkan kasta sosial, ekonomi, dan atau politik? Yang mana dalam ritual ibadah haji, itu diganti dengan kain sederhana yang warnanya sama dengan kain kafan (pembungkus mayat) sebagai simbol akhir sebuah persamaan ketika hidup berakhir. Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya.

2. Pelarangan terhadap perbuatan membunuh, menumpahkan darah, dan mencabut pepohonan

Pada dasarnya, manusia berfungsi sebagai penjaga atas makhluk-makhluk lainnya untuk mencapai tujuan penciptaannya. Begitu juga larangan untuk memakai wangi-wangian, bercumbu atau berhubungan suami-istri, dan menggunting kuku, yang semuanya itu melambangkan hiasan yang terkadang menyilaukan hakikat kemanusiaan itu sendiri. 

3. Mengelilingi Ka’bah (thawaf) untuk mengingat istri Nabi Ibrahim 

Istri Nabi Ibrahim merupakan budak dari kalangan hitam ketika menggendong putranya, Isma’il. Akan tetapi, Tuhan telah menjadikannya mulia bukan karena kedudukan dan status sosialnya. Akan tetapi karena keyakinan dan usaha gigihnya, untuk hijrah dari kebathilan menuju kebaikan, dari keterbekangan menuju peradaban.

4. Semua jamaah haji wuquf (berhenti) di Arafah sampai terbenam matahari

Praktek ini, sekali lagi, akan membuat setiap individu sadar akan status kemanusiaannya sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.

5. Keberangkatan ke Muzdalifah dengan mengumpulkan batu yang akan dipergunakan di Mina

Tahap akhir dari ibadah ini, menyimpulkan bahwa setelah penyucian diri yang dilakukan dengan melaksanakan ritual-ritual tadi di atas, dituntaskan dengan melenyapkan musuh (melempari setan dengan batu) dalam diri kita dan memulai hidup sadar atas status kemanusiaan universal. 

Substansi ibadah haji, sebenarnya dapat  dilihat dalam artikulasi nilai-nilai yang disimpulkan dalam ibadah haji tadi. Korelasinya kuat dengan kecenderungan peremehan atas realitas kemiskinan di sekeliling kita.

Ada cerita sufi yang menarik berkaitan dengan haji Mabrur. Suatu ketika, ada sepasang suami-istri yang dikenal cukup taat beribadah dan mempunyai cukup bekal untuk melakukan ibadah haji. Hanya karena kebiasaan dia menolong sesama kaum yang lemah (mustadh’afin), ketika betemu dengan orang yang kelaparan, maka diberikanlah bekal yang seadanya tadi dan setelah itu pulang kembali ke kampungnya.

Ketika sampai di rumah, suami-istri itu dikejutkan oleh orang yang berjubah putih dan langsung menyalaminya. Dengan kaget mereka berkata, “kami tidak jadi hajinya”.

Penyambut tadi menjawab, “kalian sudah jadi haji mabrur, karena tadi telah menyantuni orang meski tidak berangkat ke Tanah Suci”.

Dalam konteks ini, seolah mengajak kita sadar akan pesan suatu ibadah dan tidak terjebak pada formalitasnya semata. Dengan pengamalan semua nilai-nilai luhur ibadah haji, yakni kepedulian sosial, niscaya nestapa kemanusiaan yang melilit negeri ini sepertinya dapat diselesaikan. Karena, kemiskinan yang melanda tidak sedikit disebabkan oleh struktur sosial yang melingkupinya. 

Tanpa melakukan perubahan cara pandang atas problem kemiskinan dalam kacamata keberagamaan, pengentasannya akan jauh panggang dari api. Pandangan ini setidaknya dibangun dari kedudukan agama, sebagai gugusan nilai yang bisa membentuk struktur masyarakat yang adil dan beradab.

Islam, seperti diidamkan oleh para cendekiawan muslim lain, “Ibadah haji  bisa menjadi lanskap teosentris-humanisme, yang membuat muslim tidak saja bersaksi akan adanya Tuhan dan Nabi, tapi selalu menyuguhkan aksi konkret untuk kemanusiaan universal."

Terakhir, kita mengucapkan selamat jalan kepada seluruh jamaah haji Indonesia yang sedang menuju Tanah Suci, atau yang sedang persiapan di sana, atau yang lagi mempersiapkan bekal keberangkatan. Semoga ibadah para jamaah memberi berkah kepada diri pribadi, syi’ar agama Islam (soliditas muslim), dan sebagai bagian solusi menyelesaikan problem bangsa dan negara Indonesia. Amiin ya mujiba al-Sailin. 

Asmawi Mahfudz

Pengasuh Ponpes al-Kamal Blitar dan Pengajar di STAIN Tulungagung

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement