Senin 03 Sep 2012 11:35 WIB

Non-Blok yang Ngeblok

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Para delegasi dari 120 negara baru saja (30-31 Agustus) mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Teheran, Iran. Mereka tergabung dalam Non-Aligned Movement/NAM atau Harakah `Adamul Inhiyaz atau Gerakan Non-Blok/GNB.

Melihat dari namanya, para negara anggota GNB tentu bermaksud menggalang kekuatan bersama dan tidak memihak pada kekuatan dunia mana pun.

Dengan kata lain, sesama anggota menginginkan adanya rasa "senasib dan sepenanggungan". Maju bersama dan mundur bersama. Suka dan duka dirasakan bersama. Atau, meminjam narasi ajaran Islam, mereka bagaikan satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh yang sakit maka semua anggota tubuh yang lain akan merasakan sakit yang sama.

Itulah kira-kira yang dirasakan oleh lima pemimpin negara ketika mendirikan GNB di Bandung pada 1955. Mereka adalah Presiden Indonesia Soekarno, Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, Presiden Mesir Jamal Abdul Nasir, Perdana Menteri India Pandid Jawaharlal Nehru, dan pemimpin Ghana Kwame Nkrumah.

Negara-negara lain yang merasa senasib, terutama yang baru merdeka atau yang dalam proses memerdekakan diri dari kolonialisme kemudian ikut bergabung dalam GNB ini.

Pada saat itu, dunia boleh dikata hanya dikangkangi oleh dua kekuatan, yaitu Blok Barat dan Timur. Blok Barat dipimpin Amerika Serikat yang mewakili negara-negara kapitalisme dan Blok Timur dikendalikan oleh Uni Sovyet yang mewakili negara-negara komunisme/sosialisme. Dua blok ini masing-masing dengan sangat agresif dan dengan berbagai cara berusaha menjadikan negara lain, terutama negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, berada di bawah pengaruhnya.

Konflik dan perebutan pengaruh dua kekuatan inilah yang kemudian dalam sejarah disebut sebagai Perang Dingin. Kelahiran GNB jelas merupakan peristiwa besar dan bersejarah. Mereka berusaha melawan hegemoni kekuatan besar dunia yang cenderung kolonialistis dengan cara dan bentuk lain. Dalam deklarasinya, GNB menegaskan setiap bangsa dan negara adalah setara.

Mereka berhak atas kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan. Mereka juga menentang segala bentuk imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, apartheid, zion- isme, dan rasisme.

Namun, dalam perkembangannya, GNB boleh dikata hanya tinggal nama. Dari konferensi ke konferensi berikutnya, yang menonjol justru konflik internal dan perang kata-kata.

Lihatlah KTT GNB terakhir yang baru berlangsung selama dua hari di Teheran. Negara- negara anggota GNB yang mustinya nonblok justru ngeblok. Misalnya, dalam kasus penjajahan Israel terhadap bangsa Palestina. Dalam deklarasi GNB jelas dinyatakan, gerakan ini melawan kolonialisme, zionisme, dan rasisme.

Tapi faktanya, sikap negara-negara GNB boleh dikata ngeblok dalam kelompok-kelompok. Ada kelompok negara yang belum atau ti - dak mengakui kemerdekaan bangsa Palestina.

Jumlahnya ada 40 negara. Lalu, ada kelompok yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Sementara itu, negara seperti Iran dan sekutunya memandang tidak ada tempat buat negara Israel di kawasan Timur Tengah, alias "buang ke laut". Buat Iran, penyelesaian penjajahan Israel terhadap bangsa Palestina tidak dengan perundingan, tapi dengan perang.

Kemudian, ada kelompok negara yang mendukung kemerdekaan bangsa Palestina, namun pada waktu yang sama juga mengakui keberadaan negara Israel yang hidup berdampingan. Mereka--sejumlah negara Arab dan juga Indonesia--berpendapat bahwa penyelesaian yang menimpa bangsa Palestina adalah dengan mengadakan perundingan damai dengan Israel dan pihak-pihak yang terkait.

Yang menyedihkan, karena perbedaan pandangan yang tajam di antara negara-negara GNB sendiri, akhirnya tidak ada langkah-langkah konkret untuk membantu kemerdekaan bangsa Palestina. Perang tidak dan perundingan damai juga tidak. Sementara pada waktu yang sama, Israel dengan bebasnya memperluas permukiman Yahudi di tanah Palestina.

Mereka juga dengan brutal hampir setiap hari menyerang bangsa Palestina tanpa ada protes keras dari negara-negara GNB. Hal yang sama juga terjadi ketika negara- negara anggota GNB menyikapi kekerasan rezim Presiden Bashar al-Assad terhadap rakyat Suriah. Bagi Iran dan sekutunya, Presiden Assad hanyalah korban dari konspirasi tingkat tinggi yang dimainkan oleh Amerika, Israel, dan negara-negara Barat.

Tujuannya untuk menggulingkan rezim Basar Assad yang selama ini di nilai selalu melawan kepentingan Barat di Timur Tengah. Sedangkan, Arab Saudi, Qatar, Mesir, Turki, dan lainnya berpandangan, aksi perlawanan rakyat Suriah adalah kelanjutan dari musim revolusi rakyat Arab melawan penguasa diktator dan otoriter. Sejauh ini, revolusi rakyat Arab telah berhasil menggulingkan rezim diktator Husni Mubarak di Mesir, Zainal Abidin bin Ali di Tunisia, Muammar Qadafi di Libia, dan Ali Abdullah Saleh di Yaman. Karena itu, kekerasan terhadap bangsa Suriah harus diselesaikan dengan menurunkan Presiden Bashar al-Assad.

Masalah bangsa Palestina dan kekerasan terhadap rakyat Suriah hanyalah menyebutkan contoh bagaimana negara-negara GNB sekarang ini sudah tidak nonblok lagi, tapi sudah ngeblok, baik ngeblok di internal GNB maupun kekuatan dunia lainnya. Masalah lain masih banyak yang disikapi berbeda, misalnya kepemilikian nuklir Iran dan seterusnya.

Karena itu, kalau tidak ada revitalisasi dalam tubuh GNB, saya khawatir gerakan itu hanya tinggal nama. Atau, hanya untuk perang kata-kata di setiap KTT-nya yang justru memperlihatkan kerapuhan GNB. Saya melihat, Indonesia yang merupakan pendiri semestinya bisa memainkan peran lebih besar untuk mengembalikan kewibawaan GNB. Kalau tidak, negara yang besar ini akan dianggap kecil oleh masyarakat dunia.

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement