Kamis 30 Aug 2012 11:03 WIB

Mudik: Biosoda Jalanan

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Mudik Lebaran baru lalu--dan juga sebelumnya dan tahun-tahun datang- mengandung tujuan mulia memperkuat silaturahim dan kohesi sosial sekaligus "berbagi" rezeki kepada sanak keluarga dan karib kerabat. Karena tujuan mulia itu, bisa dipastikan tradisi mudik bakal terus bertahan.

Masalahnya, tujuan mulia tidak selalu berakhir dengan kemuliaan bagi kalangan pemudik. Sebaliknya, bisa berakhir dengan kerusakan, kecederaan, dan kehilangan nyawa--milik paling berharga bagi kehidupan.

Lihatlah angka biosida (biocide, destruction of life) di jalanan sepanjang musim mudik lalu.

Sampai H 7 menurut laporan Polri (sampai pada 26/8/12), 908 orang tewas di jalanan. Jumlah itu memperlihatkan peningkatan yang sangat signifikan dibanding 2011 dengan 779 orang tewas; 2010 sejumlah 853 kehilangan jiwa; 2009 sebanyak 728 orang meninggal.

Hampir 80 persen korban tewas adalah pengendara sepeda motor dan sekitar 70 persen di antara mereka ini tidak memiliki SIM.

Jumlah korban biosida seputar mudik-balik Lebaran jelas sangat banyak. Bandingkan dengan jumlah korban kekerasan--sering disebut sebagai "genosida"--terhadap etnis Ro hingya pada Juni 2012 lalu yang mencapai angka sekitar 650 jiwa. Tetapi, jumlah korban lebih sedikit ini menimbulkan kehebohan, kecaman, dan bantuan kemanusiaan dunia yang ingin menyelamatkan etnis Rohingya dari lebih banyak kematian. Nah, siapa yang peduli terhadap para korban tewas selama mudik-balik Lebaran? Siapa yang sepatutnya menyelamatkan para pemudik dari biosida?

Pihak pertama yang harus menyelamatkan para pemudik dari kematian di jalanan adalah diri masing-masing. Walaupun kecelakaan di jalanan dapat terjadi karena kecerobohan orang lain, jelas setiap pengendara kendaraan bermo- tor mesti tetap berkewajiban menjaga dirinya; memiliki keterampilan, pengalaman berken - dara, dan SIM; berhati-hati dalam berkendara;

mematuhi rambu dan ketertiban lalu lintas.

Dalam kenyataannya, tidak semua "persyaratan" ini dipenuhi para pengendara--apakah ketika sedang mudik-balik Lebaran atau dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, bisa dikatakan, keadaban publik berlalu lintas sangat longgar.

Pelanggaran ketentuan dan ketertiban berlalu lintas dapat disaksikan di mana-mana. Lihatlah para pengendara yang serobot sana serobot sini, tidak memedulikan lampu lalu lintas, melebihi kecepatan yang aman, atau berknalpot yang sangat bising.

Pelanggaran ketentuan, ketertiban, dan keadaban berlalu lintas sudah menjadi "gaya hidup" sehari-hari dan menjadi sangat masif pada musim mudik dan balik Lebaran. Aparat polantas yang sering dibantu petugas LLAJR-- juga kalangan masyarakat lainnya--seolah tidak berdaya apa-apa. Dengan pelanggaran begitu masif menjadi sangat sulit mengambil tindakan tegas. Sekalipun jelas terlarang menaiki motor dengan lima pengendara plusbarang bawaan, polantas tampak hanya membiarkan mereka berlalu.

Karena itu, instansi dan lembaga yang bertanggung jawab dalam ketertiban dan keamanan lalu lintas memiliki tugas mendidik para pengendara--dan jika perlu dengan tindakan keras--untuk menghormati ketentuan, ketertiban, dan keadaban berlalu lintas. Ini tugas dan tanggung jawab yang tidak mudah, tetapi mesti dilakukan jika kita tidak ingin korban dalam jumlah besar terus kehilangan nyawa di jalanan.

Pemerintah jelas memiliki tanggung jawab dalam menyelamatkan para warganya dari biosida di jalanan. Untuk itu, kebijakan dan langkah drastis mesti dilakukan, tidak bisa lagi secara tambal sulam dan ad hoc seperti selama ini.

Pertama, pembenahan dan pengembangan infrastruktur yang memungkinkan terselenggaranya transportasi massal, khususnya bus dan kereta api, yang aman dan nyaman, baik di dalam kota tertentu maupun antarkota antarprovinsi. Kurangnya infrastruktur mengakibatkan penumpukan kendaraan dan kemacetan sangat parah di mana-mana, baik di ja lan utama, maupun jalur alternatif.

Pada saat yang sama, pemerintah wajib mendorong terciptanya keamanan dan kenyamanan transportasi publik. Bukan rahasia lagi, transportasi umum tidak aman dan nyaman karena juga dinaiki para pencopet, pengamen, dan pengasong. Celakanya lagi, pada musim mudik-balik Lebaran, ongkosnya naik berkali lipat. Ancaman pemerintah agar tarif bus tidak dinaikkan tinggal macan kertas belaka yang tidak ada kenyataannya di lapangan.

Kurangnya transportasi publik yang aman, nyaman, bisa diandalkan, dan terjangkau membuat kian banyak orang ingin memiliki kendaraan sendiri. Tidak adanya kebijakan pembatasan jumlah kendaraan dari pemerintah ditambah kemudahan dari pihak produsen dan dealer membuat terjadinya eksplosi kendaraan mobil pribadi dan apalagi motor. Sepanjang observasi saya dalam kunjungan ke banyak negara di lima benua, tidak ada negara mana pun di muka bumi yang jalanannya dipadati begitu banyak sepeda motor seperti Indonesia.

Eksplosi kendaraan pribadi menunjukkan sempurnanya kegagalan kebijakan pemerintah dalam transportasi publik. Waktu setahun menjelang datangnya musim mudik-balik Lebaran 1434H/2013M agaknya terlalu singkat untuk membenahi berbagai penyebab biosida jalanan. Tetapi juga jelas, pemerintah harus segera melakukan berbagai langkah drastis untuk mencegah terus meningkatnya nestapa kemanusiaan ini dari tahun ke tahun.

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement