Senin 27 Aug 2012 13:24 WIB

Fitrah Optimisme Realistis

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif

Ibarat embun yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul Fitri kali ini melahirkan situasi `kesucian' yang riskan. Pribadi- pribadi boleh saja terlahir kembali bak embun suci, tetapi relung kehidupan negara tempat mereka bertahan adalah ruang yang cemar.

Langit suci bulan Ramadhan diuapi kekotoran bumi, dari onggokan sampah isu skandal korupsi pejabat tinggi, percekcokan ke polisian dan KPK, hingga penangkapan hakim Tipikor.

Saat takbir berkumandang, kehidupan seperti roller coaster, berjumpalitan antara optimisme dan pesimisme. Antara fajar fitrah yang meneguhkan sikap hidup positif, dan kegelapan bumi yang menebar bayangan hidup negatif Dalam situasi demikian, kesucian Idul Fitri bukanlah sesuatu yang harus diterima secara taken for granted. Kita tidak cukup menjadi suci (secara pribadi), tetapi lebih penting bagai mana kesucian itu bisa untuk menyucikan (negara).

Seperti kata Aristoteles, "Manusia baik belum tentu men jadi warga negara yang baik.

Manusia baik hanya bisa menjadi warga negara yang baik bilamana negaranya juga baik. Sebab, di dalam negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang buruk."

Di satu sisi kita harus tetap menjaga sikap hidup yang positif sebab pemikiran negatif tak akan membawa kebaikan.

Psikolog David D Burn mengingatkan bahwa depresi kejiwaan merupakan hasil pemikiran yang salah. Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme, daya hidup dilumpuhkan oleh jeratan 4D-defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa ditinggalkan), dan deprived (rasa tercerabut)--yang dihayati sebagai kebenaran dan kenyataan sejati.

Lebaran menghadirkan optimisme yang lebar bahwa setiap krisis mengandung peluang pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab mengatakan, "Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka kepada Pemilik Arasy, akan memetik manisnya buah yang dipetik dari pohon berduri."

Di sisi lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis bahwa kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dijemput, tanpa diusahakan dengan pengorbanan. Dalam gundukan sampah persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, diperlukan persenyawaan jutaan titik embun untuk bisa menjadi gelombang kesucian yang bisa menyucikan najis kekotoran yang melumuri jiwa kenegaraan.

Usaha penyucian harus menyentuh simpul terlemah, yang menjadi pangkal kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi Muhammad, dalam jalan pertobatan hal negatif bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan `kebohongan'. Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula.

Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara. Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme yang meng - abaikan esensi. Dalam melolos kan berbagai UU dan keputusan yang mengabaikan nalar publik, otoritas terkait acap kali menutupi kebohongannya dengan dalih "sudah sesuai prosedur".

Kini, para pejabat negara sedang beradu siasat untuk menyempurnakan negeri ini menja di negeri kebohongan. Korupsi setiap pemerintahan, kata Montesquieu, selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan aturan permainan. Kebohongan memperoleh akarnya pertama kali ketika aturan bisa dikorup demi pragmatika politik.

Pemerintahan negeri ini juga akan semakin sempurna dalam memperlihatkan watak koruptif nya, jika berbagai pos pemerintahan baru di ciptakan demi mengakomodasi kepentingan orang per orang, bukan demi kemaslahatan kedudukan itu sendiri. Dalam pemerintahan yang korup, kedudukan dipilih demi seseorang.

Sedangkan dalam pemerintahan yang baik, seseorang dipilih demi kebaikan kedudukan. Dalam situasi krisis, berbagai pos baru itu semakin menguras keuangan negara. Inilah saatnya, kebaikan pribadi harus memi- liki komitmen untuk memperkuat etika sosial. Gairah keagamaan tidak berhenti pada narsisme simboliknya, melainkan pada penguatan misi profetiknya dalam memperjuangkan kemasla- hatan hidup bersama.  Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang kesucian kolektif, semoga bumi kehidupan dapat disucikan kembali!

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement