Selasa 14 Aug 2012 11:18 WIB

'Allahu Akbar’ dan Membunuh Sesama Muslim

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Sejumlah media di Timur Tengah dalam beberapa hari ini sedang disibukkan dengan pemberitaan mengenai serangan terhadap tentara Mesir penjaga perbatasan dengan Israel di Sinai (5/8). Bukan hanya tentang pembalasan dan serangan balik tentara Mesir kepada para penyerang, tapi juga mengenai siapa kelompok di balik serangan yang menewaskan 16 tentara Mesir tesebut. Harian Arab Saudi, Al Youm, menyebutkan, pelakunya adalah Jamaah Takfir. "Mereka melakukan itu semua (membunuh tentara Mesir--Pen) untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqorruban ila Allah),\" tulis koran itu dalam editorialnya dua hari setelah peristiwa.

Namun, lanjut koran itu, sungguh mengherankan mengapa pemilihan waktu penyerangan tepat menjelang buka puasa? Lalu, ada apa di balik serangan ke tentara Mesir yang Muslim dan bukan ke tentara Yahudi yang berada di seberang perbatasan dengan Mesir? Bukankah mereka juga mengaku sebagai Muslim?

"Yang lebih menyedihkan, ketika menyerang dan membunuh tentara Mesir yang Muslim mereka meneriakkan Allahu Akbar."

Media onlinemilik Pemerintah Mesir, Al Ahram, mengutip sumber resmi militer menyatakan, pelakunya adalah kelompok yang menamakan diri Tentara Jaljalah, pecahan Tentara Islam yang berbasis di Gaza. Sekarang ini, kelompok tersebut beranggotakan sekitar 1.600 orang dan dipimpin seorang warga Palestina.

Kelompok ini berhasil merekrut anak-anak muda di Sinai dan di beberapa provinsi Mesir lainnya. Juga bergabung ke kelompok ini sejumlah anggota Alqaidah di Pakistan, Afghanistan, Yaman, dan Somalia, serta narapidana yang berhasil melarikan diri ketika sedang berkecamuk revolusi rakyat di Mesir untuk menggulingkan rezim Presiden Husni Mubarak. Yang membahayakan, kelompok ini sudah tidak percaya lagi pada para penguasa di negara-negara Timur Tengah.

Para penguasa di Timur Tengah dianggap sebagai agen-agen orang kafir dan Yahudi. Karena itu, mereka ingin mendirikan negara sendiri yang Islami yang berpusat di Sinai. Selanjutnya, mereka akan membebaskan Madi- natul Quds (Yerusalem).

Menurut mereka, seperti ditulis Al Ahram, siapa pun yang menghalangi keinginan tersebut dianggap sebagai kafir. Alasan mereka menyerang tentara Mesir karena negara itu dianggap tetap menjalin hubungan dengan Israel.

Buat masyarakat Islam pada umumnya, logika yang dibangun oleh kelompok radikal yang menyerang tentara Mesir itu tentu sulit bisa diterima. Apalagi, Mesir kini dipimpin presiden yang berasal dari Ikhwanul Muslimin, yaitu Mohammed Mursi. Ia juga didukung kelompok-kelompok Islam lainnya semisal kelompok Salafi dengan partainya, An Noor. Sebelum menjadi `penguasa' sekarang ini pun, Ikhwanul Muslimin boleh dikata selalu menjadi musuh dari para rezim penguasa Mesir.

Presiden Mursi juga beberapa kali telah merasakan dinginnya dinding penjara. Tuduhannnya hanya satu: mereka ingin mendirikan negara Islam. Selain presiden yang berasal dari Ikhwanul Muslimin, Pemerintah Mesir sekarang ini juga sedang mesra-mesranya dengan para pemimpin Hamas. Hal itu tampak ketika Presiden Mursi memprioritaskan pertemuan dengan PM Palestina versi Hamas, Ismail Haniyah. Juga pertemuan dengan tokoh Hamas lainnya, Khaleed Mashaal.

Pertemuan itu bahkan berlangsung sebelum Presiden Mursi menunjuk perdana menteri yang akan menjalankan Pemerintahan Mesir. Hamas selama ini dicap oleh Barat sebagai kelompok Islam radikal.

Bahkan, Amerika Se rikat mengelompokkan Hamas sebagai teroris.

Presiden dari Ikhwanul Muslimin sangat dekat dengan pimpinan Hamas, lalu masih adakah alasan untuk menyebut Mesir sebagai negara kafir yang wajib diperangi? Logika kelompok radikal dan ekstrem memang susah dipahami orang kebanyakan. Kelompok-kelompok seperti itu akan susah ditumpas dengan senjata. Ibaratnya, mati satu tumbuh seribu. Sebab, ajaran ekstremisme dan radikalisme merasuk kepikiran, masuk ke hati, dan kemudian menjadi keyakinan.

Karena itu, cara mencegahnya pun, sebelum menjadi tindakan terorisme, harus pula dengan perang pikiran dan pemikiran (ghozwul fikri), dan itu harus dilakukan oleh semua pihak, termasuk oleh pihak-pihak di Indonesia. Apalagi, pikiran dan tindakan ekstremisme tidak mengenal batas negara.

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement