Sabtu 11 Aug 2012 06:00 WIB

Bulan untuk Memerdekakan

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asma Nadia

Ada yang menarik pada 17 Agustus 2012 ini. Pertama, pada bulan yang sama, 67 tahun lalu, tepat di Ramadhan, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Kedua, 17 Agustus tahun ini jatuh pada hari Jumat, hari yang sama ketika proklamator kita menyatakan kemerdekaan.

Sejarah terpenting negeri ini diukir pada Ramadhan, dalam keadaan masyarakat berpuasa. Para pendiri bangsa, tidak peduli lapar dan dahaga, tidak peduli jika setelah memproklamasikan kemerdekaan terjadi serangan mendadak hingga pertempuran yang mungkin tak bisa dielakkan. Kemerdekaan tetap dinyatakan tanpa merasa perlu menunda pasca-Ramadhan.

Seolah para tokoh proklamator dan barisan pejuang ingin mengatakan, puasa bukan saatnya bersantai. Puasa tidak boleh mengganggu perjuangan. Puasa tidak boleh menjadi alasan untuk tidak produktif.

Walaupun puasa dan produktivitas bagi sebagian orang sekilas terlihat sebagai dua hal yang berada pada kutub berbeda, sebenarnya justru memiliki hubungan yang erat. Siapa saja yang bisa memaknai puasa sebagai bentuk latihan dan menyikapinya secara positif, akan menemukan bulan penuh rahmat ini sebagai saat tepat untuk meningkatkan produktivitas. Betapa tidak, selama siang hari Ramadhan kita tetap bekerja.

Jeda siang bagi yang bekerja dan biasanya digunakan untuk makan dan istirahat, pada Ramadhan ini bisa dilewatkan. Waktu-waktu tersebut menjadi ekstra masa produktif yang lain. Masih ditambah berkurangnya jatah tidur di malam hari bagi mereka yang menjalankan puasa.

Besarnya motivasi adalah untuk melakukan lebih banyak hal bermanfaat. Sebab, pahala dilipatgandakan di Ramadhan sehingga menambah jumlah waktu produktif. Di antaranya, lisan yang lebih terjaga dari gosip atau pembicaraan sia-sia. Lalu, langkah yang terhindar dari tempat-tempat yang jauh dari ridha Allah. Pendeknya, Ramadhan mendorong kita untuk memerdekakan diri dari berbagai keburukan dan lebih giat memperbanyak gerak kebaikan.

Rasulullah, para sahabat, serta pengikutnya telah membuktikan indahnya puasa dan tetap produktif. Dalam keadaan shaum, mereka menjalani Perang Badar. Padahal, terjun dalam pertempuran adalah kerja fisik yang sangat keras dan berat. Apalagi, jumlah pejuang Muslim sepertiga dari musuh mereka dan sebagian besar hanya penduduk biasa, berlatar pedagang, budak, dan lain-lain. Sedangkan, kelompok musuh sebaliknya, terdiri atas pasukan yang besar dan memiliki persenjataan lengkap.

Tetapi, dalam keadaan berpuasa, tanpa merasa perlu berbuka dan membatalkannya, kaum Muslimin memenangkan Perang Badar. Sejarah mencatat, peristiwa perjanjian Hudaibiyah terjadi di bulan Ramadhan. Persiapan Perang Khandaq, ketika Rasulullah beserta sahabat harus menggali parit mengelilingi Kota Madinah, juga dilakukan di bulan mulia itu. Pun futuh Makkah.

Ramadhan benar-benar bukan alasan untuk mundur dari pertempuran bagi Thariq bin Ziyad, yang hanya bersama 12 ribu pejuang mampu mengalahkan penguasa Spanyol yang bertentarakan 90 ribu orang.

Dengan spirit Ramadhan pula, para relawan Ikhwanul Muslimin dan tentara reguler Mesir merebut Jazirah Sinai pada 1973. Di nusantara, pada 22 Juni 1527 M atau bertepatan dengan 22 Ramadhan 933 H, Fatahillah merebut Sunda Kelapa. Oleh karena itu, Rasulullah, para sahabat, serta ulama dan tokoh-tokoh pendahulu telah membuktikan, Ramadhan sebagai bulan ketika fisik dan kekuatan hati tak berkurang, tetapi justru berada di titik puncaknya.

Tanggal 17 Agustus 2012 nanti--dengan spirit Ramadhan--semoga bangkitlah semangat merdeka dari kemiskinan dan kebodohan, dari korupsi dan sifat serakah yang memenjarakan hak-hak orang banyak. Dan, cita-cita meninggalkan potret buram bangsa ini tidak sekadar utopia yang dilantunkan dalam acara-acara seremonial, tetapi upaya sungguh-sungguh untuk meretas jalan serta momentum Ramadhan adalah pintu besar untuk memasukinya.

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement