Selasa 10 Jul 2012 07:52 WIB

Al-Azhar dan Jalan Tengah

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Pekan lalu terjadi ketegangan antara Presiden Mesir yang baru Dr Mohammed Mursi dan Syekh Al-Azhar Dr Ahmad Tayyib. Gara-gara nya, Syekh Al-Azhar tersinggung karena kurang dihormati saat menghadiri pelantikan Presiden Mursi di Universitas Kairo, Sabtu (30/6) lalu. Dalam setiap acara kenegaraan dan sesuai protokoler negara, Syekh Al-Azhar (Grand Sheikh) selalu mendapat kursi kehormatan di deretan VVIP. Maksudnya, very- very important person alias orang yang sangat penting.

Namun, ketika pelantikan Mursi sebagai presiden pertama yang terpilih secara demokratis di Mesir, ternyata di deretan kursi VVIP tidak ada nama Syekh Al-Azhar. Akhirnya, Syekh Al-Azhar duduk di belakang bersama orang kebanyakan, dengan harapan ada panitia memanggilnya untuk duduk di deretan VVIP. Tapi, beberapa menit ditunggu dan tak ada yang mempersilakannya pindah ke deretan orang orang yang sangat penting, ia kemudian meninggalkan tempat sebelum Presiden Mursi menyampaikan sambutan.

Menurut Syekh Al-Azhar, tindakannya bukan bersifat pribadi sebagai Ahmad Tayyib. Namun, demi menjunjung tinggi lembaga Al- Azhar berikut para ulama, guru besar, dosen, tenaga pengajar, ribuan pelajar, mahasiswa, serta alumni Al-Azhar, baik di dalam maupun luar negeri. Untunglah, ketegangan itu tak berlangsung lama. Mengetahui ada persoalan dengan Syekh Al- Azhar, Mursi segera meneleponnya dan meminta maaf, meskipun hal itu bukan kesalahan dia.

Ya, Al-Azhar dalam beberapa bulan ini, tepatnya sejak kejatuhan presiden Husni Mubarak pada Januari tahun lalu, memang sedang mengembalikan posisinya. Yakni, ia bukan stempel dari pemerintah, melain-kan lembaga pendidikan, sosial-budaya, dan agama yang mandiri. Lembaga keagamaan dan pendidikan Islam tertua yang, sejak didirikan oleh Dinasti Fatimiyah pada 361 H (975 M), selalu berada di garda terdepan dalam mendidik umat dan mengembangkan dakwah Islam mo derat dan toleran.

Saya katakan, ‘’sedang mengembalikan posisinya’’ karena sepanjang Mesir merdeka dan menjadi republik pada 1953, Al-Azhar tidak mandiri lagi. Presiden Jamal Abdul Nasir menjadikan lembaga tersebut di bawah kendali pemerintah. Syekh Al-Azhar yang merupakan pejabat tertinggi di lembaga tersebut ditunjuk oleh presiden dan jabatannya setingkat menteri. Kebijakan ini lalu diteruskan oleh Presiden Anwar Sadat dan Husni Mubarak.

Tak aneh bila kemudian Al-Azhar sering dikatakan orang sebagai stempel pemerintah, persis seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada masa rezim Orde Baru. Apalagi ketika marak aksi revolusi rakyat di Mesir untuk menjatuhkan rezim Husni Mubarak, Al-Azhar dan ulamanya pun pasif. Tidak ikut turun ke lapangan Tahrir bersama rakyat. Lengkaplah cap Al-Azhar sebagai bagian dari rezim Mubarak.

Namun, setelah sang presiden jatuh, para ulama yang tergabung dalam Majma Bukhuts Al-Islamiyah (Majmak) menyadari keterpurukan Al-Azhar. Mereka pun segera mengembalikan posisi Al-Azhar sebagai lembaga yang mandiri dan berwibawa. Undang-undang mengenai Al-Azhar segera mereka ubah.

Kini, Syekh Al-Azhar bukan lagi ditunjuk presiden, melainkan dipilih di antara para ulama yang tergabung dalam Majmak. Saya mencatat ada dua hal fenomenal yang dilakukan Al-Azhar sejak perubahan statusnya dalam satu setengah tahun ini. Pertama, fatwa yang memperbolehkan rakyat di negara-negara Islam untuk melakukan aksi unjuk rasa. Termasuk demonstrasi melawan rezim penguasa yang dianggap zalim, misalnya rezim Bashar al-Assad di Suriah. Dengan syarat, seperti tertuang dalam Watsikatul Azhar(Dokumen Al-Azhar), aksi unjuk rasa harus dilakukan secara damai dan tidak membawa senjata.

Namun, kalau rezim penguasa terus menyerang, untuk mempertahankan diri rakyat boleh melawan, termasuk bila diperlukan dengan senjata. Fatwa demikian tentu hal baru yang tidak mungkin dikeluarkan selama rezim Mubarak. Kedua, penegasan bahwa Al-Azhar adalah benteng moderasi Islam. Penegasan ini disampaikan Al-Azhar menjelang penyusunan konstitusi baru Mesir.

Dalam Watsikatul Azhar di sebutkan bahwa pasal dua dalam konstitusi lama tidak perlu diubah. Yaitu, Mabadius Syariah Al Islamiyah hiya al masdaru alraisi littasyrii (dasar-dasar syariah adalah sumber utama dalam penyusunan konstitusi).

Sebelumnya, sejumlah kekuatan politik utama Mesir yang kini didominasi oleh kelompok Salafi dan Ikhwanul Muslimin-menuntut agar pasal dua dalam konstitusi lama diubah menjadi As Syariah Al- Islamiyah adalah sumber utama konstitusi. Yakni, dengan menghapus Mabadi-us Syariah menjadi cukup As Syariah.

Menurut wakil-wakil dari gereja, perubahan itu akan menjadikan Mesir sebagai negara agama. Karena itu, mereka mengancam akan keluar dari keanggotaan tim penyusun konstitusi baru. Ancaman yang sama juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lain, antara lain ke lompok liberal, kelompok Nasirism (pengikut Jamal Abdul Nasir), militer, dan kelompok rezim lama (rezim Mubarak dan Sadat) yang sering disebut Fulul.

Di tengah memanasnya dinamika politik seperti itulah, Al-Azhar kemudian memberi jalan tengah, yaitu dengan mengusulkan agar pasal dua tersebut tidak perlu diganti. Menurut Al- Azhar, konstitusi adalah alat untuk merekatkan dan mempersatukan bangsa. Ia hanyalah wadah, yang penting adalah isi.

Jalan tengah yang ditawarkan Al-Azhar itulah yang kini tampaknya akan diterima oleh kelompok-kelompok di Mesir dalam menyusun konstitusi baru. Ya, jalan tengah. Atau orang sering menyebutnya sebagai moderat. Istilah agamanya ummatan washaton. Ia bukan liberal yang mengagungkan kebebasan individu. Ia juga bukan pula konservatif yang memandang segala sesuatu dari sudut pandang diri sendiri. Konsep Islam moderat itulah yang kini juga menjadi agenda utama Al-Azhar di dunia, lewat para alumninya yang tersebar di berbagai negara.

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement