Selasa 03 Jul 2012 07:59 WIB

Melawan Takut

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

oleh: Nasihin Masha

“Musuhmu yang terbesar adalah rasa takutmu”. Frasa ini layak ditujukan ke pemerintah. Hingga kini, kita tersandera oleh suku bunga kredit perbankan yang termasuk tertinggi di dunia. Hal ini membuat orang-orang miskin sulit berbisnis, pemerataan ekonomi bergerak beringsut, dan skala ekonomi Indonesia tertindas.

Walaupun suku bunga Bank Indonesia sudah satu digit (5,75 persen), rakyat kecil di perdesaan yang meminjam uang di bank bisa terkena bunga lebih dari 18 persen. Bank tak lebih dari rentenir belaka. Jangan katakan bahwa itu hukum ekonomi. Ini adalah ketakberdayaan akibat struktur pasar yang timpang. Butuh lebih dari sekadar tangan-tangan tak terlihat. Negara harus hadir.

Perlu solusi politik yang bisa memaksa perbankan menurunkan suku bunga kreditnya. Seperti kata Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, perbankan tak berani menurunkan suku bunga kreditnya. Perbankan takut pemilik uang yang menyimpan uangnya di bank akan memindahkan uangnya di bank luar negeri.

Ini karena ternyata hanya segelintir orang yang menguasai uang di Indonesia. Sekitar dua persen nasabah menguasai 80 persen dana di bank. Sungguh ketimpangan yang nyata. Lalu, mengapa tak kunjung ada solusi politik? Jawabannya sederhana. Pemerintah takut. Takut kehilangan kekuasaan. Para pemilik uang itu akan melakukan perlawanan.

Di sini, kualitas seorang pemimpin diuji. Kita butuh pemimpin yang memiliki keyakinan. Sebuah puisi telah menjadi saksi ketegaran Recep Tayyip Erdogan, perdana menteri Turki. Karena membaca sebuah puisi dia mendekam di penjara. Padahal, puisi itu karya pujangga negeri itu seabad lalu, Ziya Golkalp.

Menara adalah bayonetku

Kubah adalah helmku

Masjid adalah barakku

Dan keyakinan adalah tentaraku

Pengalaman dipenjarakan bukan hanya membuat rasa takut itu menipis. Tapi, penggalan puisi itu juga mengajarkan untuk meminggirkan rasa takut, “Keyakinan adalah tentaraku”. Dan, tentara demikian ini tak akan pernah habis. Ketika pertama kali menjadi perdana menteri, pendapatan perkapita Turki hanya 2.000 dolar AS. Sedangkan angka inflasi sangat tinggi, 34,9 persen.

Kini, pendapatan perkapita Turki melompat ke 15 ribu dolar AS. Adapun inflasinya pada tahun lalu menjadi 5,7 persen. Untuk memuluskan program ekonomi itu, Erdogan harus menyelesaikan dulu persoalan politik dengan membangun demokrasi. Yang paling berat adalah meminggirkan militer secara permanen dari politik. Sebuah langkah bersejarah sejak Turki modern dibangun pada 1922.

Karena itu, slogan Erdogan saat pemilu adalah “ it’s the economy”. Baginya, politik adalah ibarat sebuah trem yang membawa kita pada tujuan kita. Dan, tujuan itu pada akhirnya adalah ekonomi — kesejahteraan. Demokrasi, dan tentu saja didalamnya politik, adalah sebuah instrumen bagi mulusnya program ekonomi.

Tak akan ada kesejahteraan jika angka ketimpangannya terlalu tinggi. Di sana, hanya akan ada pengisapan. Mari kita lihat jenjang suku bunga yang kini berlaku di Indonesia: suku bunga Bank Indonesia 5,75 persen, suku bunga kredit di atas Rp 100 miliar sekitar 10 persen, suku bunga kredit di bawah Rp 100 miliar sekitar 11 persen, suku bunga kredit usaha menengah sekitar 13 persen, suku bunga kredit usaha mikro sekitar 18 persen. Makin miskin makin dikenakan suku bunga yang tinggi. Jarak antara 5,75 persen ke 18 persen itu terlalu jauh. Di dunia, itu sebuah puncak.

Kebijakan suku bunga yang seperti ini, sama saja dengan mempermanenkan kemiskinan dan menggiring kelas-kelas ekonomi tetap berada dalam kurungannya masing-masing. Dan, terutama membiarkan sebagian besar masyarakat benar-benar tertinggal dan di luar jangkauan perbankan. Hal ini terlihat dari jumlah rekening perbankan, yang hanya ada 95,35 juta rekening.

Padahal, bisa saja satu orang memiliki beberapa rekening. Bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang 240 juta orang. Kita sudah tak ada masalah dengan militer seperti Turki. Musuh Indonesia saat ini adalah ketamakan segelintir orang. Kita harus memecah kebuntuan ini dengan menghadirkan pemimpin yang berani. Dan, keberanian itu tak datang dari mana-mana selain dari keyakinan. 

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement