Rabu 02 May 2012 09:54 WIB

Belajar Moral via Sains

Ilmu sains (ilustrasi)
Ilmu sains (ilustrasi)

Sering kali pada jam-jam sekolah, banyak pelajar yang terlihat berkeliaran di jalanan kota besar. Pelajar tersebut berkelompok, membawa senjata tajam atau sekedar duduk sambil merokok.

Masih segar pula di ingatan kita, beberapa tindakan kriminal yang akhir-akhir ini menyeret anak-anak usia sekolah sebagai pelakunya. Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 730 kasus pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (anak menjadi pelaku). Sementara, pada tahun 2011 angka tersebut meningkat menjadi 1851 pengaduan, atau naik sekitar 70% dari tahun sebelumnya.

Kita tidak bisa menyalahkan sekolah, sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas kejadian-kejadian tersebut. Sebab, pendidikan moral di sekolah dan lingkungan, hanya sebagai komplemen bagi pendidikan moral yang sudah diberikan di rumah.

Sebenarnya, pemerintah telah memberikan landasan hukum mengenai tujuan pendidikan nasional Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 4 Ayat 1 UU No 20 Tahun 2003, yaitu membentuk  manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Namun, apabila kita perhatikan data Komnas Perlindungan Anak tersebut, sepertinya mimpi Indonesia untuk membentuk manusia yang sesuai dengan amanat tujuan nasional pendidikan masih sekadar angan-angan.

Meskipun sebagai komplemen dalam mendidik moral anak, di sekolah sebenarnya sudah ada mata pelajaran khusus yang memuat pendidikan moral, seperti Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan. Tetapi, sepertinya kedua mata pelajaran tersebut belum cukup untuk membina moral siswa. Hal ini mengingat alokasi waktu kedua mata pelajaran tersebut hanya 1 kali pertemuan dalam seminggu. Untuk itu, kita perlu memaksimalkan fungsi mata pelajaran lain untuk menyampaikan pesan-pesan moral, seperti mata pelajaran Sains yang pertemuannya bisa mencapai 2 kali dalam 1 minggu. 

Pendidikan sains telah berkontribusi dalam melatih aspek keterampilan berpikir kritis dan obyektif siswa. Hingga kini, dengan berbagai perubahan, pendidikan sains terus menanamkan nilai-nilai tentang kejujuran, disiplin, penghargaan makna kemanusiaan, kepedulian, kerendahan hati, melindungi kehidupan manusia dan nilai-nilai lainnya melalui kegiatan pembelajaran yang dilakukan di sekolah. 

Menurut Yanti Herlanti, Mpd, dosen Jurusan Pendidikan Sains UIN Jakarta, sains adalah salah satu mata pelajaran yang memiliki daya tarik cukup besar bagi siswa, bahkan orangtua. Untuk itu, pemanfaatan pendidikan sains sebagai media pendidikan moral harus dimaksimalkan.

Yanti menambahkan, bahwa banyak orangtua yang lebih mengharapkan anak-anaknya memilih jurusan ilmu sains dibanding ilmu sosial. Sebabnya, karena sains dapat menciptakan sebuah habit of mind atau kebiasaan berpikir yang berbeda dari jurusan lain.

Sains adalah ilmu yang terbilang sulit. Misalnya, kesulitan untuk mendapatkan nilai 80 pada mata pelajaran sains, tidak sama dengan kesulitan untuk mendapatkan nilai 80 pada mata pelajaran lain. Hal ini juga melatih siswa untuk bekerja keras, tanggung jawab, serta memiliki mental yang kuat.

Depdiknas (2006) menyatakan, bahwa hakikat sains meliputi empat unsur utama, yaitu sbb. 

1. Sikap: Rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar, sains bersifat open ended, sikap ilmiah seperti objektif, tanggungjawab, teliti, disiplin dll;

2. Proses: Prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah;

3. Produk: Berupa fakta, prinsip, teori dan hukum;

4. Aplikasi: Penerapan metode ilmiah dan konsep sains dalam kehidupan sehari-hari.

Guru-guru sains, pada umumnya menyisipkan nilai-nilai moral pada tahap proses maupun produk. Guru tidak sekadar menyampaikan konten pelajaran, yang lebih mengedepankan aspek kognitif. Tetapi, juga aspek afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam sebuah proses dan aplikasi. Isliwani Wahab misalnya, seorang guru Biologi di SMA negeri favorit di Jakarta, yang selalu menyisipkan nilai-nilai moral dan Ketuhanan dalam setiap kegiatan pembelajaran.

Beberapa contoh penanaman nilai moral dalam pendidikan sains, antara lain:

1. Dalam mata pelajaran Biologi, guru tidak hanya memberikan hafalan mengenai anatomi tubuh. Tetapi, mereka juga mengajarkan bagaimana cara menghargai tubuh. Jika tubuh ini merupakan sesuatu yang berharga, maka wujud penghargaan tersebut yaitu dengan tidak menindiknya, mentatonya, melukainya, mengonsumsi narkoba dan alkohol, serta tidak melakukan seks bebas;

2. Dalam mata pelajaran Fisika, ketika melihat kestabilan alam semesta dengan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, peserta didik tidak hanya diajarkan mengenai rumus-rumus. Tetapi, mereka juga diajarkan untuk melihat dirinya sebagai komponen alam semesta ini. Mereka hanyalah sebuah makhluk yang sangat kecil di alam ini, sehingga tidaklah pantas seorang manusia memiliki sifat sombong;

3. Dalam mata pelajaran Kimia, kita mengenal berbagai unsur kimia penyusun alam semesta. Peserta didik dapat diajarkan untuk memaknai keselarasan dan keseimbangan unsur-unsur tersebut, serta bagaimana menjaga keseimbangan komposisinya di alam. Hal ini bisa menambah rasa syukur dan kagum atas ciptaan Tuhan;

4. Dalam kegiatan praktikum, ketika siswa dihadapkan pada sebuah penelitian ilmiah, siswa dituntut untuk berpikir kritis. Mereka berada pada sebuah proses yang panjang, serta harus obyektif terhadap apapun hasil dari penelitian tersebut. Nilai-nilai kesetiakawanan dan kerjasama pun dilatih dalam bentuk kerja kelompok.

Dalam sains, kita tidak bisa lepas dari hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan Tuhan dan moral baik terhadap lingkungan maupun sesama manusia. Sains mengajarkan, bagaimana kita bersikap terhadap diri sendiri dan orang lain. Sains menanamkan nilai-nilai tersebut tanpa menggurui, nilai-nilai tersebut didapatkan secara sadar oleh para siswa melalui sebuah proses, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima dan menyimpan informasi tersebut. 

Menurut Yanti, pendidikan moral di rumah, lingkungan maupun sekolah tidak akan berhasil tanpa ada peran serta dari pemerintah. Bentuknya berupa kebijakan yang mendukung tercapainya tujuan nasional pendidikan di Indonesia, untuk membentuk insan yang unggul dalam prestasi dan berakhlak mulia.

Tayangan televisi menurutnya, merupakan salah satu yang memberikan dampak terbesar bagi moral siswa. Pemerintah hendaknya mengatur tayangan-tayangan di televisi. Misalnya, untuk saluran televisi tertentu yang menampilkan acara dewasa, hanya dapat dinikmati melalui televisi berbayar. Sehingga, hanya orang-orang mampu dan membutuhkan saja yang dapat mengakses informasi tersebut, seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Jepang.

Dwi Septiana

Mahasiswi semester 6, Jurusan Pendidikan Sains, UIN Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement