Ahad 23 May 2010 01:44 WIB

Sepenggal Renungan Soal Nasib Pembantu Rumah Tangga

Rep: Sabeth Abilawa/ Red: irf
ilustrasi
Foto: edwin/republika
ilustrasi

"Bi Imah, ambilkan minum! Setelah itu cuci piring dan pakaian, ya...Jangan lupa belanja dan bersihkan halaman."

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Itulah titah sang majikan kepada pekerja rumah tangga (PRT) yang kerap kita saksikan dalam tayangan sinema elektronik di salah satu televisi swasta nasional setiap hari. Sebenarnya, banyak Imah-Imah lain yang memiliki pekerjaan dan tugas hampir sama. Bangun tidur tatkala majikan masih terbuai mimpi, dan baru bisa istirahat ketika sang majikan telah terlelap kembali.

Tidak ada data resmi yang dilansir mengenai jumlah PRT di seluruh Indonesia. Namun, International Labor Organization (ILO) memperkirakan sedikitnya ada 3 juta hingga 4 juta orang yang berprofesi di sektor ini. Berdasarkan estimasi ILO juga, PRT merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar secara global, 6 juta di antaranya pekerja migran asal Indonesia.

Potret PRT kita memang masih memprihatinkan, memiliki waktu kerja yang tidak terbatas dan ruang lingkup pekerjaan yang sangat luas. Mulai dari membuka pintu, mengambilkan minum, memasak, dan segudang pekerjaan lainnya. Padahal upah yang diterimanya hanya Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu per bulan.

Selain itu, tidak sedikit pekerja rumah tangga yang mendapat perlakuan kasar dari majikan. Pekerja yang disiksa dan diperkosa pun tak sedikit ditemukan. Semua itu karena mereka tidak mendapat perlindungan hukum dari negara.

Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) melansir, sedikitnya terdapat 412 kasus kekerasan pada PRT di berbagai daerah dalam kurun waktu 2000 – 2007. Data ini di nilai seperti puncak gunung es yang hanya tampak di permukaan karena diangkat oleh media massa. Disinyalir, masih banyak kasus kekerasan terhadap PRT karena mereka kesulitan mengakses informasi dan tempat pengaduan.

Keberadaan undang-undang ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dinilai belum mengakomodasi kepentingan pekerja rumah tangga. Pasalnya, undang-undang ini hanya mengatur hubungan industrial. Para PRT masih dianggap pekerja sektor nonformal yang belum diatur hak dan kewajibannya. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dianggap melindungi PRT ternyata tidak mengatur hubungan kerja antara PRT dengan pemberi kerja atau majikan.

Oleh karenanya, keberadaan payung hukum baru untuk melindungi hak PRT ini dianggap mendesak oleh sejumlah kalangan yang peduli dengan nasib PRT. Mereka mendesak agar DPR segera membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang PRT ini.

Meski telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2010, banyak kalangan masih meragukan perlunya undang-undang ini. Bahkan, pemerintah --dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sebagai stakeholder yang paling berkepentingan dan bertanggung jawab-- terkesan ogah-ogahan.

Dalam sebuah workshop Kemenakertrans beberapa waktu lalu sempat muncul pernyataan bahwa undang-undang ini akan menimbulkan permasalahan baru yang merugikan masyarakat. Selain itu, jika DPR mengesahkan undang-undang ini, dikhawatir hubungan kerja antara PRT dengan pemberi kerja.

Keberadaan UU PRT ini sangat diperlukan untuk menghindari eksploitasi terhadap PRT. Dengan undang-undang ini, status PRT menjadi jelas. Pasalnya, selama ini masyarakat masih menganggap PRT bukan sebagai pekerja, mereka hanya numpang hidup sehingga dapat dipekerjakan dengan jam kerja yang tidak terbatas dan upah minim.

Pengakuan dan perlindungan hukum ini untuk membongkar ketidakadilan terhadap pekerja yang selama ini memiliki keterbatasan dalam ekonomi, akses pendidikan, kesehatan, informasi, dan hukum. Dengan undang-undang ini, diharapkan hak dan kewajiban PRT menjadi jelas. Apa yang harus mereka kerjakan, berapa lama mereka bekerja, dan berapa upah yang akan mereka terima.

Melalui undang-undang ini, negara berkewajiban memenuhi peran dan tanggung jawabnya untuk melindungi PRT, mengatur hubungan kerja kerumahtanggaan. Negara tidak boleh melakukan pembiaran pelanggaran hak-hak dengan menyerahkan nasib PRT, kewenangan dan standar kerja kerumahtanggaan pada pemberi kerja yang berbeda-beda situasi sosial, ekonomi, budaya, dan pemahamannya.

Tanpa kita sadari, profesi rumahan ini sebenarnya memiliki andil yang sangat besar dalam meningkatkan kualitas hidup kita. Karena PRT adalah "aktor di belakang layar" yang menangani tugastugas domestik rumah tangga. Kita bisa konsentrasi dalam bekerja dan mengembangkan keahlian kita manakala tugastugas rumah tangga sudah ditangani oleh PRT. Sudah saatnya Pekerja Rumah Tangga berhak mendapatkan pengakuan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

sumber : dompet dhuafa
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement