Jumat 01 Sep 2023 17:27 WIB

Kemendikbudristek Ingatkan Kampus tak Hanya Jadi Pabrik Ijazah

Kebebasan menentukan tugas akhir bukan untuk memudahkan mereka meluluskan mahasiswa.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Fernan Rahadi
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Prof Nizam
Foto: Tangkapan layar
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Prof Nizam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebuadayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengingatkan perguruan tinggi untuk tidak menjadi pabrik ijazah dengan adanya kemerdekaan penentuan tugas akhir saat ini. Kemendikbudristek tak ingin perguruan tinggi mengakali kemerdekaan tersebut untuk membuat mahasiswa-mahasiswanya mudah lulus. Sebab itu, pengawasan akan dilakukan.

"Melalui akreditasi dan pengawasan yang paling bagus itu adalah masyarakat untuk ngawal kampus-kampus agar tidak nakal dan sembarangan menjadikan kemerdekaan itu sebagai pabrik ijazah tanpa ada proses yang dilalui dan dijaga bersama," ujar Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam, di Kemendikbudristek, Jakarta, Jumat (1/9/2023).

Baca Juga

Nizam menyatakan, tujuan dari diberikannya kemerdekaan menentukan bentuk tugas akhir bagi perguruan tinggi bukan untuk memudahkan mereka meluluskan mahasiswa. Cita-cita dari kebijakan itu adalah agar para lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi yang lebih sesuai dengan kebutuhan di masing-masing bidangnya.

"Yang ingin kita pastikan adalah justru lulusannya nanti akan lebih kompeten sesuai dengan kebutuhan di masing-masing bidang, bukan malah dipaksa untuk mengikuti ini (wajib skripsi), padahal itu tidak cocok untuk bidang tersebut," kata Nizam.

Dia menjelaskan, Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 memberikan kemerdekaan pada perguruan tinggi untuk merancang Tri Dharma-nya secara lebih otonom. Sebagai contoh, ketika suatu perguruan tinggi mempunyai visi-misi untuk menjadi perguruan tinggi riset, maka bisa saja menggunakan publikasi sebagai ukurannya.

"Boleh, tidak dilarang. Jadi sesuai misi perguruan tinggi. 'Oh perguruan tinggi saya ini lebih banyak ke arah entrepreneur. Jadi lulusannya harus bisa menyelesaikan kasus-kasus atau mengembangkan business plan yang bagus.' Silakan. Sehingga nanti jadi branding masing-masing perguruan tinggi," jelas dia.

Tugas akhir berbentuk skripsi kini tak lagi wajib bagi mahasiswa sarjana/sarjana terapan atau S1/D4. Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, mengatakan pihak perguruan tinggi diberikan kemerdekaan untuk menentukan bentuk tugas akhir yang mereka inginkan untuk mengukur kemampuan dan kompetensi calon lulusannya.

"Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam. Bisa berbentuk prototipe, bisa berbentuk proyek, bisa berbentuk lainnya. Tidak hanya skripsi, tesis, atau disertasi. Bukan berarti tidak bisa tesis atau disertasi, tapi keputusan ini ada di masing-masing perguruan tinggi," kata Nadiem, dikutip dari Youtube Kemendikbudristek, Rabu (30/8/2023). 

Ketentuan di atas merupakan ketentuan bagi program studi sarjana/sarjana terapan. Sementara untuk mahasiswa magister/magister terapan dan doktor/doktor terapan tetap wajib untuk diberikan tugas akhir. Hanya saja, mereka tak lagi diwajibkan untuk menerbitkan tugas akhir memreka di jurnal sebagaimana peraturan sebelumnya. 

"Jadi dampaknya dengan adanya ini, semakin bebas program studi untuk mendorong anaknya melakukan pendidikan di luar kampus, semakin bebas program studi melakukan project base learning, semakin bebas program studi untuk menjadikan project riset menjadi pendidikan atau bagian dari pendidikan kurikulum mereka," kata Nadiem.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement