Jumat 18 Mar 2022 15:46 WIB

Larangan Truk ODOL, Ini Tanggapan Pakar Unair

Kebijakan zero ODOL mulai 2023 mendapat penentangan dari para sopir truk.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Yusuf Assidiq
Sejumlah truk berhenti di jalan saat aksi demo menutup jalan Pantura di Jalan Pantura Banyuputih hingga Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (22/2/2022). Dalam aksi itu, sopir dan pengusaha truk menolak kebijakan pemerintah terkait pembatasan dan pelarangan truk Over Dimension Over Loading (ODOL) atau kelebihan dimensi dan muatan yang dapat merugikan mereka dengan aksi memblokade jalan Pantura Banyuputih-Subah hingga menyebabkan kemacetan sepanjang sekitar 2-3 kilometer dari Arah Jakarta menuju Semarang dan sebaliknya.
Foto: Antara/Mohamad Hamzah
Sejumlah truk berhenti di jalan saat aksi demo menutup jalan Pantura di Jalan Pantura Banyuputih hingga Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (22/2/2022). Dalam aksi itu, sopir dan pengusaha truk menolak kebijakan pemerintah terkait pembatasan dan pelarangan truk Over Dimension Over Loading (ODOL) atau kelebihan dimensi dan muatan yang dapat merugikan mereka dengan aksi memblokade jalan Pantura Banyuputih-Subah hingga menyebabkan kemacetan sepanjang sekitar 2-3 kilometer dari Arah Jakarta menuju Semarang dan sebaliknya.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar kebijakan publik Universitas Airlangha (Unair) Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo, menanggapi polemik penerapan pelarangan angkutan truk atau mobil barang yang Over Dimension dan Overload (ODOL) mulai 2023. Larangan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.

 

Dalam hal ini, pemerintah melarang keras truk yang mengangkut muatan barang berlebih apalagi tidak sesuai dengan ukuran jenis angkutannya. Kebijakan zero ODOL mulai 2023 itu pun mendapat penentangan dari para sopir truk di berbagai daerah, yang telah beberapa kali melaksanakan aksi unjuk rasa.

Ia mengatakan, kebijakan itu harus dilihat secara komprehensif. Pasalnya, dari sisi pengusaha tak sedikit yang memaksimalkan truk untuk memperbesar profit margin atau selisih keuntungan.

“Namun, jika menyentuh sisi teknis maupun non teknis. Hal itu juga berpotensi memunculkan hidden cost di dalam transportasi angkutan barang,” ujarnya, Jumat (18/3/2022).

Selain itu, kata Gitadi, pengemudi truk ODOL juga diketahui berlomba-lomba menawarkan tarif ongkos kirim paling murah kepada industri pemesan jasa angkutan. Tentunya dengan tujuan untuk meminimalkan biaya sewa unit truk.

Akan tetapi, dampaknya pemerintah harus memperbaiki jalan yang rusak akibat ODOL. Selain itu, pemilik angkutan juga harus mengeluarkan biaya pemeliharaan karena truknya telah mengangkut muatan berlebih.

Gitadi menyatakan, pemerintah khususnya Dinas Perhubungan juga sebaiknya melakukan reformasi birokrasi pengujian kendaraan. Di mana tempat uji kendaraan, selama ini terstigma sebagai tempatnya kompromi-kompromi penegakan peraturan uji kendaraan.

Menurutnya, penertiban dan normalisasi truk ODOL sudah diterapkan di luar negeri. Adapun pengemudi yang melanggar mendapat denda hingga Rp 100 juta. Berkaca pada kebijakan ODOL di Indonesia, Gitadi menilai pelanggar masih belum mendapat efek jera, lantaran dendanya hanya Rp 500 ribu.

Direct punishment memang perlu diperbesar untuk mendapatkan efek jera. Tetapi jika implementasi di lapangan tidak ketat, kemungkinan justru akan menambah kasus denda damai,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement