Rabu 18 Aug 2021 05:03 WIB

Karya Dihapus, Pemural Tuhan Aku Lapar Merasa Tertekan

Seniman pembuat mural 'Tuhan Aku Lapar' merasa tertekan

Rep: Eva Rianti/ Red: Muhammad Subarkah
Mural Tuhan Aku Lapar di Jalan Aria Wangsakara, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, dihapus.
Foto: Istimewa
Mural Tuhan Aku Lapar di Jalan Aria Wangsakara, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, dihapus.

IHRAM.CO.ID, TANGERANG -- Penghapusan mural bertuliskan ‘Tuhan Aku Lapar’ yang dilakukan pihak kepolisian pada Juli 2021 lalu hingga kini masih membekas bagi sejumlah seniman mural di Kabupaten Tangerang. Usai disambangi aparat kepolisian, mereka mengaku ada rasa takut yang dirasakan oleh para seniman untuk terus berkarya ke depannya.

Salah satu sumber yang merupakan pembuat mural ‘Tuhan Aku Lapar’ dari Komunitas Halfway Street Connection (HSC) menceritakan kronologis mural ‘Tuhan Aku Lapar’ dari awal pembuatannya, penghapusan, hingga perasaan tertekan yang dialami hingga saat ini.

“Sabtu, 17 Juli 2021, berawal dari ide di forum untuk membuat karya bertemakan kondisi Indonesia saat ini, akhirnya terpilihlah kalimat ‘Tuhan Aku Lapar!!’ karena banyak orang yang terdampak bagi segi ekonomi, sandang, maupun pangan karena pandemi yang tak kunjung usai,” ujar sumber yang tidak ingin disebutkan namanya kepada Republika, Selasa (17/8).

Tulisan ‘Tuhan Aku Lapar’ lantas dibuat pada malam harinya di sebuah tembok di Jalan Aria Santika, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Lokasi tersebut merupakan tempat biasa mereka berkarya dan dianggap strategis dalam menyuarakan aspirasi melalui karya.

“Beberapa dari kami mulai patungan untuk membeli alat dan bahan yang enggak seberapa. Jam 22.00 kami berkumpul di tempat yang sudah kami janjikan, dengan protokol kesehatan seketat mungkin,” tuturnya.

Setelah mural selesai, beberapa hari kemudian, tim pemural dari Komunitas HSC menyebarluaskan hasil mural mereka di media sosial agar pesan dari karya tersebut dapat tersampaikan kepada publik. Karya itu pun akhirnya viral, namun kabar mengejutkan mereka dengar bahwa dilakukan penghapusan mural tersebut oleh pihak kepolisian.  

“Kami dapat kabar bahwa karya kami langsung dihapus oleh orang yang diduga aparat setempat. Tengah malamnya anggota kami ada yang disambangi rumahnya untuk dimintai datang membuat keterangan,” terangnya.

Keesokan harinya, polisi bersama dengan perangkat desa mendatangi dua anggota komunitas HSC yang diinformasika kan hendak memberikan bantuan sosial (bansos) serta melakukan dokumentasi. Dalam kunjungan itu, kedua seniman dimintai klarifikasi dan penjelasan mengenai maksud dari pembuatan mural. Mereka pun menjawab tidak ada maksud apapun dan tidak ada niat menyinggung pihak manapun.  

Lantas para seniman mendatangi markas Polresta Tangerang untuk melakukan musyawarah lebih lanjut. Mereka bertemu pihak kepolisian dibantu oleh aktivis setempat. “Dan kelanjutannya, aparat memberikan bansos, seakan-akan kami yang merasa kelaparan. Kejadian ini membuat kami sebagai seniman sangat tertekan karena merasa disudutkan,” ungkapnya.

Menurut penuturan sumber, hal yang dialami seniman mural tersebut terjadi saat kondisi di Kabupaten Tangerang tengah hangat-hangatnya membahas soal bansos di masa pandemi Covid-19.

“Kebetulan banget suasana di sini memang momennya lagi panas banget. Di hari yang sama pas viral itu juga lagi ada demontasi dari aktivis mahasiswa di sana. Jadi mural kami dikaitkan karena keadaan semuanya pada sensitif. Demontsari itu sendiri tentang bansos. Kami membuat mural dengan kalimat seperti itu, dan beberapa saat setelah itu ada yang terungkap korupsi dana bansos di Tigaraksa. Jadi Pemkab dan aparat panik, lalu langsung framing melalui media,” jelasnya.

Dengan dihapuskannya mural serta pemberian bansos kepada pemural, permasalahan tersebut dinilai sudah selesai. Namun, sumber menyebut, atas kejadian itu dirinya merasa ruang gerak para seniman menjadi terbatas.  

“Cukup terbatas, karena kami menjadi takut mengulangi kejadian yang sebelumnya. Karena kami tidak tahu konteks gambar kami apakah akan menyinggung atau tidak, kami hanya berkarya sesuai hati kami saja,” tuturnya.

Atas kejadian itu pula, para seniman menilai aparat kepolisian berlebihan dalam bersikap menanggapi karya mural. Pasalnya, mural bertuliskan ‘Tuhan Aku Lapar’ semata hanya representasi kondisi masyarakat saat ini di tengah pandemi Covid-19.

“Kalau memang pihak pemerintahan merasa tertegur dengan adanya mural kami, ya cobalah sebar bansos dengan tepat sasaran. Da juga pikirkan lagi bagaimana cara terbaik untuk menyikapi pandemi ini. Kalau memang cara sebelumnya kurang efektif kenapa harus dilaksanakan terus, kenapa enggak coba putar otak lagi untuk mencari cara untuk melawan pandemi ini,” jelasnya.

Diketahui, mural ‘Tuhan Aku Lapar’ yang tertera di tembok di Jalan Aria Santika, Tigaraksa viral di media sosial pada 24 Juli lalu. Setelah viral, petugas menghapus tulisan dengan huruf kapital berwarna putih sepanjang 12 meter tersebut. Keesokan harinya, pihak kepolisian dari Polresta Tangerang mendatangi pembuat mural. 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement