Jumat 08 May 2020 23:15 WIB

Damaskus, Kota Dermawan yang Pernah Jadi Pusat Peradaban

Kota Damaskus dikenal sebagai kota pemurah dan dermawan.

Kota Damaskus dikenal sebagai kota pemurah dan dermawan. Masjid Umayyah di Kota Damaskus, Suriah.
Foto: reflectionseurope.com
Kota Damaskus dikenal sebagai kota pemurah dan dermawan. Masjid Umayyah di Kota Damaskus, Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, Secara geografis, Damaskus terletak di sebelah Barat Daya Suriah. Ibu kota Republik Arab Suriah itu berada di oasis suatu dataran separuh gersang. Damscus juga berbatasan dengan Pegunungan Anti-Lebanon di sebelah Timur. Di sebelah Tenggara, kota ini berdekatan dengan Beirut, Lebanon. Damaskus juga dilalui Sungai Barada yang telah mengalirkan air selama ribuan tahun.

Kota itu termasuk salah satu kota tertua yang dihuni manusia. Damaskus dibangun sekitar 3.000 tahun SM. Berganti zaman, berganti pula penguasa Damaskus. Secara bergantian, kerjaan Assyria, Yunani, Romawi dan Bizantium menguasai wilayah itu. Islam mulai menginjakkan pengaruhnya di kota itu pada era kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab.

Baca Juga

Panglima perang seperti Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Yazid bin Abu Sufyan berhasil menunaikan tugasnya untuk menaklukan Suriah dan Palestina dari kekuasaan Romawi. Secara resmi, Damaskus berada dalam kekuasaan Islam pada September 635 M. Proses Islamisasi berlangsung damai dan lancar. Penguasa Islam tetap menghormati kebebasan beragama.

Sejak itulah, Suriah menjadi salah satu provinsi pemerintahan Khulafa Rasyidin yang berpusat di Madinah. Gubernur pertama Suriah adalah Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Pada era kepemimpinannya, Usman bin Affan kerap berkunjung ke provinsi itu. Ketika konstelasi politik di dunia Islam berubah, pada tahun 661 M Mu'awiyah bin Abu Sufyan mendirikan Dinasti Umayyah dan mendapuk Damaskus sebagai ibu kota pemerintahannya.

Salah satu agenda Dinasti Umayyah adalah perluasan wilayah penyebaran Islam hingga ke Afrika Utara, Spanyol, Asia Tengah, Persia, serta India. Sehingga wilayah kekuasaan Islam pada abad pertengahan semakin meluas. Sekitar tahun 750 M, Dinasti Umayyah digulingkan Dinasti Abbasiyah dan ibu kota pemerintahan berpindah ke Baghdad.

Kota Damaskus dikenal sebagai kota yang dermawan dan pemurah. Suatu hari, penjelajah kondang asal Maroko, Ibnu Battuta (1304-1368 M) menginjakkan kakinya di Damaskus. Ia begitu kagum melihat kehidupan sosial masyarakatnya yang dermawan dan pemurah. Ketika itu, sederet lembaga amal berdiri untuk meringankan beban bagi orang-orang yang tak berpunya dan membutuhkan bantuan.

`'Semangat sosial masyarakat Damaskus begitu tinggi,'' kisah Ibnu Battuta dalam catatan perjalanannya. Saking banyaknya lembaga amal yang berdiri di kota itu, sampai-sampai Ibnu Battuta merasa sulit untuk menghitungnya. Saat itu, orang tak mampu menunaikan ibadah haji ke Makkah akan dibiayai lembaga amal yang ada.

Masyarakat Damaskus pun berlomba-lomba mewakafkan tanahnya untuk sekolah, rumah sakit serta masjid. Damaskus tak hanya dikenal sejarah sebagai kota yang dermawan karena kemakmurannya, namun juga pemurah karena sifatnya. Bianquis mencatat, begitu terbukanya Damaskus bagi para pengungsi asal Andalusia yang terusir dari negeri Spanyol, ketika Kristen menguasai tanah itu pada abad ke 12 M.

Seabad kemudian, Damaskus menjadi tempat berlabuh warga Irak dan Irak ketika bangsa Mongol menghancurkan tanah kelahiran mereka. Pada abad ke-16, lagi-lagi Damaskus menjadi tempat berlindung pengungsi dari Spanyol baik Muslim maupun Yahudi yang mencari perlindungan. Tiga abad berselang, kota kembali menjadi tanah harapan bagi warga Kaukasus, Kurdi, dan Turki dari ancaman tentara Rusia.

 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement