Selasa 09 Dec 2025 21:03 WIB

Kemenhut Izinkan Kayu Hanyut Dipakai untuk Pemulihan Banjir Sumatera

Langkah tersebut demi mempercepat pemulihan di tiga provinsi terdampak.

Anggota Basarnas gabungan melakukan pencarian korban bencana tanah longsor dan banjir bandang di Kelurahan Sipange, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Selasa (9/12/2025). Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jumlah korban meninggal dunia dalam bencana banjir dan longsor Tapanuli Tengah mencapai 110 jiwa hingga Selasa (9/12/2025) pada pukul 13.30 WIB.
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Anggota Basarnas gabungan melakukan pencarian korban bencana tanah longsor dan banjir bandang di Kelurahan Sipange, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Selasa (9/12/2025). Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jumlah korban meninggal dunia dalam bencana banjir dan longsor Tapanuli Tengah mencapai 110 jiwa hingga Selasa (9/12/2025) pada pukul 13.30 WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengizinkan kayu yang hanyut saat banjir Aceh-Sumatera dimanfaatkan untuk kebutuhan darurat. Langkah tersebut demi mempercepat pemulihan di tiga provinsi terdampak, dengan beberapa mekanisme yang harus dipenuhi.

Dalam pernyataan diterima di Padang, Selasa (9/12/2025), Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kemenhut Laksmi Wijayanti menyatakan, material kayu hanyut yang menumpuk di lokasi bencana dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan darurat demi mempercepat pemulihan dengan tetap menjaga aspek legalitas serta mencegah penyalahgunaan di lapangan.

Baca Juga

"Bahwa pemanfaatan kayu hanyutan untuk penanganan darurat bencana, rehabilitasi dan pemulihan pascabencana, serta bantuan material untuk masyarakat terkena dampak bagi pembangunan fasilitas dan sarana prasarana, dapat dilaksanakan atas dasar asas keselamatan rakyat dan kemanusiaan," katanya.

Namun, dia mengingatkan bahwa pemanfaatan tersebut tidak dilakukan tanpa aturan. Kayu yang terbawa arus banjir memiliki status legal yang jelas.

Menurutnya, kayu hanyutan yang terbawa banjir tersebut dapat dikategorikan sebagai kayu temuan yang mekanisme penanganannya mempedomani Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Sehingga, kata dia, tetap dibutuhkan pelaksanaan penyelenggaraan yang menjunjung prinsip ketelusuran dan keterlacakan.

Dengan demikian, setiap pemanfaatan kayu hanyut wajib mengikuti prosedur pelaporan dan pencatatan agar tidak membuka celah bagi praktik pembalakan liar maupun pencucian kayu dengan memanfaatkan momentum bencana. Kemenhut memastikan bahwa penyaluran kayu hanyut untuk kepentingan masyarakat tidak dilakukan secara sepihak. Laksmi menyampaikan bahwa prosesnya harus berjalan lintas lembaga.

"Penyaluran pemanfaatan kayu hanyutan untuk penanganan dan pemulihan pasca bencana diselenggarakan bersama secara terpadu antara Kementerian Kehutanan dengan instansi terkait pada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan berbagai unsur aparat penegak hukum," jelasnya.

Pendekatan bersama adalah langkah penting, terutama untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan memastikan kayu benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan. Selain mengatur pemanfaatan kayu hanyut, pemerintah juga mengambil kebijakan tegas untuk mencegah praktik penyelewengan di tengah situasi darurat.

"Kegiatan pemanfaatan dan pengangkutan kayu bulat yang berasal dari lokasi kegiatan pemanfaatan hutan di tiga provinsi tersebut dihentikan sementara sampai dengan ketentuan lebih lanjut," tutur Laksmi.

Penghentian sementara ini dimaksudkan untuk menghindari potensi penebangan liar yang disamarkan sebagai kayu hanyut, memperjelas sumber material kayu yang beredar, dan memastikan fokus aparat dan masyarakat tertuju pada penanganan bencana. Dalam konteks pemulihan, kayu tersebut menjadi aset yang dapat mempercepat rekonstruksi, sekaligus solusi praktis di tengah terbatasnya akses logistik ke wilayah terdampak.

Namun, pemanfaatannya tetap berada dalam koridor pengawasan yang ketat. Dengan pendekatan kemanusiaan yang disertai prinsip keterlacakan, pemerintah berupaya memastikan bahwa setiap batang kayu yang digunakan benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat, bukan menjadi peluang bagi pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan di tengah musibah. Kebijakan ini menegaskan komitmen pemerintah dalam memadukan aspek kemanusiaan, legalitas, dan perlindungan hutan di tengah situasi darurat.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement