Rabu 31 May 2023 06:00 WIB

Dicari Negarawan, Bukan Politisi: Ingat Hatta, Sukarno, Syahrir, Nasir, Roem, Sartono?

Negarawan yang mampu membangun jembatan emas bagi rakyat Indonesia.

Foto atas dari kiri ke kanan:  Mr Amir Sjarifoeddin Harahap, Sutan Sjahrir dan Mr Mohammad Roem saat menghadiri rapat pleno KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) ke 5 di Malang pada Tahun  1947.
Foto: Cas Oorthuys / Nederlands Fotomuseum.
Foto atas dari kiri ke kanan: Mr Amir Sjarifoeddin Harahap, Sutan Sjahrir dan Mr Mohammad Roem saat menghadiri rapat pleno KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) ke 5 di Malang pada Tahun 1947.

Oleh: Andi Makmur Makka, Mantan Pimred Republika

Pada tanggal 20 Mei yang baru lalu, kita memperingati peristiwa bersejarah, Hari Kebangkitan Nasional. Makna hari kebangkitan nasional sangat penting, karena peristiwa itu pertanda, bangkitnya semangat nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan kesadaran sebagai sebuah bangsa. 

Semangat ini terpancar pada sikap, suasana hati, dan moral para negarawan kita ketika awal mereka memikirkan republik ini sampai awal kemerekaan. Para politikus kita berasal dari kaum terpelajar dan kelompok intelektual yang ketika itu masih sangat langka di Indonesia. Bahkan, mereka tidak hanya terpelajar, tetapi juga kaum pilihan yang cemerlang dan punya wawasan luas. Sejumlah di antara mereka, menempuh pendidikan di negeri Belanda, negara yang menjajah Indonesia. Mereka itu, antara lain Ir. Sukarno, Muhammad Hatta, Mr. Moh. Roem, Dr. Soekiman, Sutan Syahrir, Moh. Natsir, dan Sartono.

Mereka itulah kemudian yang menjadi “cream de la cream” dunia perpolitikan di Indonesia. Mereka mendirikan organisasi massa dan partai-partai untuk berdemokrasi. Konon ada yang menjadi pemimpin Partai Isla, tetapi belum fasih menjadi Imam dalam shalat. Hal ini menunjukkan bahwa mereka pada mulanya membutuhkan partai-partai yang menurut mereka, satu-satunya instrumen utama demokrasi. Sesuatu yang penting untuk bangsa dan tidak berkaitan kelompok, perebutan kekuasaan apalagi untuk kepentingan pribadi-pribadi.

Hal ini kemudian bisa dibuktikan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di Pejambon. Setiap orang yang berbicara sangat bermutu dan penuh pencerahan. Tokoh-tokoh pendiri bangsa ini berbicara tentang falsafah negara, marxisme, sosialisme, islamisme yang sangat dalam. Mereka menyusun kalimat-kalimat demi kalimat Preambule atau Mukkadimah Undang-Undang 1945 begitu padat, bermakna, menerobos jauh ke depan, sehingga kita sekarang ini, tidak bisa mengubah sebaris saja dari kalimat-kalimat itu.

Perdebatan mereka juga sangat bermutu dan punya toleransi yang sangat tinggi, Meminjam frasa Dr. Yudi Latif: dalam sejarah berdirinya negara ini, tidak ada yang bisa menyamai kualitas perdebatan politisi kita ketika itu dalam parlemen. “discources quality index”, tidak ada yang bisa menyamainya sampai sekarang.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement