Kamis 01 Jun 2023 15:09 WIB

Saritem Menggeliat tak Jauh dari Balai Kota

Setelah ditutup 2007, prostitusi di Saritem mulai eksis lagi.

Setelah ditutup 2007, prostitusi di Saritem Bandung mulai eksis lagi. Praktik prostitusi.   (ilustrasi)
Foto: EPA/Ennio Leanza
Setelah ditutup 2007, prostitusi di Saritem Bandung mulai eksis lagi. Praktik prostitusi. (ilustrasi)

Oleh : Agus Yulianto, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID -- Nama 'Saritem' memang tidak asing lagi bagi warga Kota Kembang, Bandung. Dia pun tak lekang oleh waktu. Perjalanan Saritem sebagai tempat lokalisasi kian hari semakin menambah gerah sebagian masyarakat. Berbagai upaya protes untuk menutup Saritem pun dilayangkan kepada aparat terkait.

Bahkan, kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung mendesak pemerintah segera mengambil sikap terkait mulai kembali maraknya praktik prostitusi di Gang Saritem, Kota Bandung. Pemerintah dituntut serius 'menumpas' pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi yang tak begitu jauh dari balai kota tersebut.

Akhirnya, Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung No 11 Tahun 1995 tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (Perda K3) akhirnya terbit. Saritem pun resmi ditutup, tepatnya pada 17 April 2007.

Penutupan Saritem saat itu memang menuai protes dari kalangan yang merasa menggantungkan hidupnya dari lokasi itu. Misalnya, pekerja seks komersial (PSK), muncikari, dan pedagang. Ironis memang, rata-rata yang berprofesi PSK itu berdalih terjun ke dalam bisnis esek-esek karena didorong oleh impitan ekonomi disertai minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan keahlian kerja (skill) dari PSK yang bersangkutan.

Namun, belakangan ini faktor impitan ekonomi bukanlah satu-satunya pendorong seseorang untuk terjun ke dalam bisnis esek-esek. Gaya hidup hedonistik disinyalir menjadi salah satu pendorongnya.

Ironisnya, pelaku bisnis esek-esek itu tak hanya kalangan dewas, bocah-bocah yang masih 'bau kencur' pun terut terlibat di dalamnya. Di Kota Bogor, belum lama ini, polisi menciduk belasan anak usia sekolah yang berpraktis sebagai pemuas nafsu pria hidup belang.

Polisi pun mewanti-wanti orang orang tua untuk selalu mengawasi anaknya secara ketat dalam pergaulan sehari-harinya. Bukan menjadi alasan saat mereka harusnya menikmati pendidikan, tapi justru terlibat bisnis haram tersebut.

Teranyar di Kota Bandung, Satreskrim Polrestabes Bandung merazia Saritem yang pernah menjadi salah satu lokalisasi prostitusi terbesar di Tanah Air. Razia yang digelar Kamis (18/5/2023) malam lalu itu mengamankan dua orang muncikari Dayat (41 tahun) dan Priyatno (32 tahun) serta 29 orang pekerja seks komersial (PSK) juga turut diamankan.

Razia dilakukan atas dasar laporan masyarakat tentang satu rumah yang dijadikan tempat lokalisasi di Saritem. Ternyata berhasil ditangkap dua pelaku muncikari dan 29 perempuan sebagai pekerja seks komersial.

Ia mengatakan, Saritem pernah menjadi kawasan lokalisasi dan sempat ditutup. Namun, setelah dicek kembali, aktivitas lokalisasi masih ada sehingga dilakukan penindakan.

Para PSK yang diamankan dihargai oleh muncikari sebesar Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu. Para muncikari mendapatkan keuntungan.

Dua orang muncikari dikenakan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Orang dan KUHPidana. Sedangkan, para PSK akan diserahkan kepada Dinas Sosial Kota Bandung untuk dibina.

Polisi masih melakukan pendalaman terkait praktik prostitusi yang ada kembali, sudah berlangsung berapa lama. Sementara Dinsos Kota Bandung mengatakan, para PSK yang menjadi korban akan direhabilitasi di panti yang dikelola Dinsos Jawa Barat. Namun, sebelum dilimpahkan terlebih dahulu akan diasesmen.

Langkah ini untuk mengetahui, apakah para PSK sudah lama beroperasi kembali. Apalagi, mereka pun berasal dari luar Kota Bandung.

Pengawasan tinggalah pengawasan. Namun, aktivitas prostitusi di Saritem 'masih' berlangsung hingga kini.

Perlu pertimbangan matang serta solusi yang tepat pascapenutupan beberapa tahun silam, sehingga di kemudian hari, tidak muncul benih terselubung, seperti halnya kejadian teranyar di Saritem. Bila tidak ditangani secara komprehensif, maka kasus PSK Saritem ini akan menyisakan spekulasi bahwa PSK masih tetap bisa beroperasi atau bermigrasi. Selain itu, juga harus diperhatikan problem sosial ikutan pascapenutupan tempat tersebut.

Problem sosial yang menyangkut hajat hidup orang banyak di sekelilingnya. Ini karena permasalahan sosial itu tidak berdiri sendiri.

Permasalahan tersebut muncul karena adanya sikap permisif yang semakin membudaya di tengah masyarakat. Ini yang seharusnya semua pihak terilbat di dalamnya, agar penanganan prostitusi yang tidak hanya melibatkan orang dewasa, tapi juga anak-anak di bawah umur, bisa diatasi secara berkesinambungan.

Cegas sikap serbaboleh yang muncul akibat semakin merosotnya nilai agama. Sungguh ironis memang negeri kita ini tercatat mayoritas penduduknya Muslim, tapi keislaman yang tampak sebatas ritual belaka.

Maka, untuk memutus rantai pelacuran, dapat dilakukan dengan melakukan edukasi, penegakan sanksi yang tegas terhadap semua yang terlibat dalam lingkaran bisnis haram tersebut, penyediaan lapangan kerja yang halal dan memadai, adanya kontrol masyarakat sehingga pelaku maksiat mendapatkan hukuman sosial di masyarakat.

Kalangan DPRD Kota Bandung menilai, Saritem kembali lagi 'bergeliat' karena kurangnya perhatian dari pemerintah Kota Bandung. Untuk itu, pemerintah melalui Satpol PP harus segera mengambil tindakan. Caranya bisa dilakukan dengan pemberdayaan ormas Islam dan lainnya dalam mewujudkan Bandung yang agamias.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement