Sabtu 13 May 2023 12:04 WIB

Ramai-Ramai Berpaling dari Dolar AS

Penggunaan mata uang lokal dioptimalkan untuk mengurangi dominasi dolar AS.

Penggunaan mata uang lokal dioptimalkan untuk mengurangi dominasi dolar AS. Mata uang AS, Dolar Amerika
Foto: Republika
Penggunaan mata uang lokal dioptimalkan untuk mengurangi dominasi dolar AS. Mata uang AS, Dolar Amerika

Oleh : Satria Kartika Yuda, Redaktur Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Dedolarisasi sedang menjadi fenomena global belakangan ini. Sejumlah negara berupaya mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dengan memanfaatkan mata uang lain dalam transaksi perdagangan internasional dan investasi.

Selama ini, dominasi dolar AS di sistem keuangan global membuat mata uang banyak negara rentan bergejolak. Saban waktu, dunia selalu memperhatikan kebijakan moneter yang dibuat bank sentral AS, the Federal Reserve (The Fed).

Jika The Fed menaikkan suku bunga, dolar AS yang berada dimana-mana akan 'pulang kampung'. Investor menarik dananya di suatu negara dan memilih menanamkan modalnya di Negeri Paman Sam. Aliran dana keluar itu membuat nilai tukar suatu negara tertekan.

Untuk menahan laju arus modal keluar, bank sentral di suatu negara biasanya akan ikut menaikkan suku bunga. Dampaknya, bunga kredit seperti KPR dan kredit kendaraan akan naik. Kondisi ini yang sekarang sedang terjadi.

Sepanjang tahun ini, gerakan untuk melawan hegemoni dolar AS dilakukan sejumlah negara. Cina, misalnya, pada Maret menjalin kesepakatan dengan Brazil untuk menggunakan mata uang lokal masing-masing dalam transaksi bilateral.  Bahkan, negara aliansi BRICS yang terdiri atas Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, mewacanakan pembentukan mata uang baru.

Namun jauh sebelum itu, Indonesia sudah melakukan dedolarisasi. Bank Indonesia (BI) menyebutnya dengan diversifikasi mata uang. Sejak 2018, BI melakukan kerja sama local currency settlement (LCS) yang kini diubah menjadi local currency transaction (LCT).

Terbaru, BI pada awal April menjalin kesepakatan dengan Bank of Korea untuk mendorong penggunaan mata uang lokal masing-masing negara dalam transaksi bilateral antara kedua negara. Kerja sama serupa sebelumnya sudah dijalin dengan Cina, Malaysia, Thailand, dan Jepang.

Lewat skema LCT atau LCS, pembayaran ekspor dan impor bisa menggunakan rupiah ataupun mata uang lokal negara mitra. Dengan demikian, pelaku usaha tidak perlu lagi mengonversi mata uang ke dolar AS. Ini akan menghemat biaya transaksi valuta asing dan eksposur terhadap risiko nilai tukar dalam melakukan transaksi.

Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti beberapa waktu lalu mengatakan, penggunaan LCS dioptimalkan untuk mengurangi dominasi dolar AS dalam transaksi perdagangan maupun investasi di Indonesia. Sekitar 80-90 persen kegiatan ekspor-impor menggunakan mata uang dolar AS. Padahal, nilai ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10 persen dari total nilai ekspor nasional.

Untuk terus mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, Indonesia yang pada tahun ini menjadi Ketua ASEAN mendorong penggunaan mata uang lokal di kawasan. Komitmen awal telah disepakati dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Sentral ASEAN (AFMGM) 2023 di Bali, akhir Maret.

Komitmen tersebut perlu terus dikawal. Jika ASEAN serius menggunakan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan, akan cukup membantu menjaga stabilitas nilai tukar, termasuk rupiah.

Apalagi, nilai perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN cukup besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke negara-negara ASEAN mencapai 53,2 miliar dolar AS sepanjang 2022. Sedangkan nilai impor sebesar 32,85 miliar dolar AS.

Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral BKF Kemenkeu Nella Sri Hendriyetty dalam paparannya pada awal Mei menjelaskan, Indonesia mendorong agar penggunaan mata uang lokal bisa melibatkan semua negara ASEAN. Sejauh ini, hal tersebut baru dilakukan secara bilateral, bukan secara regional.

Berkurangnya penggunaan dolar AS dapat menekan risiko ekonomi yang disebabkan volatilitas nilai tukar negara-negara ASEAN terhadap mata uang Negeri Paman Sam. Tentu, penggunaan mata uang lokal tentu membutuhkan komitmen dari dunia usaha agar berjalan masif, utamanya yang bergerak di bidang ekspor-impor. Untuk meningkatkan minat eksportir-importir menggunakan skema LCT/LCS, pemerintah perlu memberikan insentif baik itu fiskal ataupun non-fiskal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement