Senin 01 May 2023 01:01 WIB

Pisau Bermata Dua yang Disebut Trial by The Netizen

Trial by The Netizen bagai pisau bermata dua jika tidak bijaksana.

Trial by The Netizen bagai pisau bermata dua jika tidak bijaksana.Ilustrasi  Media Sosial,
Foto: Pixabay
Trial by The Netizen bagai pisau bermata dua jika tidak bijaksana.Ilustrasi Media Sosial,

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Aksi video kekerasan yang dilakukan anak seorang pejabat, seperti halnya Mario Dandy kembali terjadi. Kali ini justru anak tersebut, Aditya Hasibuan adalah putra seorang penegak hukum AKBP Achruddin Hasibuan.

Berdasarkan keterangan Dir Reskrimum Polda Sumatra Utara, Kombes Pol Sumaryono, kepolisian telah menetapkan Aditya Hasibuan sebagai tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap mahasiswa bernama Ken Admiral. Tak hanya ditetapkan sebagai tersangka, Aditya Hasibuan juga bakal ditahan.

Anehnya berdasarkan keterangan Dit Reskrimum Polda Sumatra Utara, kasus penganiayaan ini sudah dilaporkan oleh korban sejak 22 Desember 2022 ke Polrestabes Medan. Ken melaporkan Aditya Hasibuan atas dugaan pemukulan, penganiayaan, dan perusakan.

Hanya saja kemudian, kasus tersebut ditarik ke Polda Sumut dan kemudian masuk tahap penyidikan pada 27 Februari 2023. Entah kebetulan atau tidak, Aditya baru ditetapkan tersangka persis ketika video kekerasan penuh darah dari si korban, yaitu Ken Admiral viral di media sosial.

Video kekerasan yang terjadi di Medan tersebut, menjadi salah satu dari banyak video viral yang terjadi beberapa pekan terakhir. Selain itu ada pula aksi prajurit yang menendang pemotor ibu-ibu di Bekasi Jawa Barat.Prajurit tersebut diketahui berinisial Praka ANG. Ia merupakan anggota Detasemen Pertahanan Udara (Denhanud) 471 Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI Angkatan Udara. Kopasgat merupakan pasukan elite TNI AU.

Dinas Penerangan TNI AU pun menyatakan, sesuai instruksi pimpinan TNI AU, kejadian tersebut telah ditindaklanjuti dengan penyampaian permohonan maaf kepada korban. Anggota yang bersangkutan juga sudah diberi sanksi oleh atasannya.

Begitu juga dengan aksi kekerasan pekan lalu tepat sebelum Idul Fitri yang dilakukan pengendara motor. Video tentang senggolan sepeda motor, berujung salah satu dari pengendara motor terkapar di jalanan.

Sudah terkapar kejang-kejang pun orang yang diduga pelaku masih menjambak korban. Pelaku bernama Wawa pun dengan cepat berhasil diringkus Polres Cimahi.

Dari ketiga contoh di atas, video-video yang viral mampu mempermudah kerja polisi dalam menangkap pelaku aksi kekerasan. Video ini misalnya bisa berasal dari gambar ponsel atau bahkan CCTV.

Contoh di atas juga bisa menjadi bukti kekuatan dari warganet untuk menciptakan keadilan di masyarakat. Kekuatan yang bahkan misalnya mampu mengalahkan relasi kuasa para putra pejabat seperti Aditya Hasibuan atau Mario Dandy.

Lewat video-video tersebut dan rentetan hasil setelahnya, kita disuguhkan oleh Trial by the Netizen, yang sedikit banyak bisa minimalisir ketidakadilan yang dirasakan masyarakat. Trial by the Netizen paling nyata mungkin bisa kita lihat dalam kasus kematian Brigadir Joshua dan kasus Kopi Sianida Jessica yang membunuh Mirna Salihin.

Padahal sebelumnya, kita semua pernah mengenal Trial by the Press, dimana media memiliki kekuatan untuk menggiring masa atau mob untuk mendorong vonis hukum lewat opini-opini yang dibentuk.

Atau istilah lain, yang sempat menanjak di kasus Penistaan Agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ketika itu, sebagian pengamat menyebut hakim seakan-akan dipaksa oleh massa untuk menghukum Ahok tanpa melihat latar belakang alasan ia berucap. Ketika itu, vonis Ahok disebut berasal dari Trial by the Mob.

Pisau bermata dua

Sayangnya meski mampu membawa keadilan bagi sebagian orang, trial by the netizen ini seperti halnya pisau bermata dua. Kadang, warganet sudah menghakimi lebih dahulu padahal kenyataan belum tentu sesuai dengan mereka ketahui saat itu.

Seperti keluhan Juru Bicara DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Sigit Widodo. Sigit sempat mengeluh lewat media sosial terkait persoalan akun Twitter, @sigitwid. Dia yang mau mudik dari rumah di BSD, Tangerang Selatan, Banten, ke Purwokerto, Jawa Tengah, melalui Tol Cipali mampir di rest area Km 86A.

Seusai makan dan ingin membayar di food court, ia merasa kena getok karena membeli makanan dua porsi berisi nasi ayam dan teh kemasan harus membayar Rp 155 ribu. Adapun setelah dilakukan klarifikasi, harga sebenarnya adalah Rp 116 ribu.

Sigit juga melampirkan foto RM Hadea yang disinggahinya pada Sabtu (22/4/2023), yang kini status tersebut sudah dihapusnya. Status tersebut viral hingga mendapatkan respons dari pengelola rest area. Tidak sedikit warganet yang mendukungnya karena rumah makan menetapkan harga seenaknya sendiri.

Usai cuitan itu viral, pengelola rest area menghukum RM Hadea menutup lapak selama sepekan imbas memasang tarif lebih mahal kepada Sigit yang mengajak anaknya makan di lokasi.

Namun, sikap publik mulai berubah ketika Sigit berbincang kepada media. Dia bercerita lebih detail tentang menu makanan yang dimakannya bersama sang anak. Dia mengaku, memilih menu nasi, sepotong ayam, telur dadar, dan tahu. Adapun anaknya mengambil nasi, dua potong ayam, telur dadar, dan tempe. Keduanya juga minum teh botol.

Warganet pun berbalik arah menjadi geram dengan penjelasan Sigit, yang dianggap tidak jujur di awal. Konsekuensinya, RM Hadea sampai ditutup gara-gara status Sigit yang viral.

Kasus di atas bisa menjadi contoh, bagaimana trial by netizen membuat sebuah usaha UMKM terpaksa ditutup sementara. Padahal sebenarnya dalam kasus tersebut masih belum jelas kesalahan yang diperbuat oleh RM Hadea.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement