Selasa 25 Apr 2023 17:28 WIB

Maaf, Flexing Itu Perilaku Norak!

Perilaku flexing ini bisa juga menjadi buah simalakama.

Mohammad Akbar
Foto: Dok. Republika
Mohammad Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh : Mohammad Akbar*

Fenomena flexing menjadi sorotan publik dunia maya belakangan ini. Flexing diartikan sebagai perilaku seseorang yang gemar pamer harta kekayaan di sosial media. Dengan mengunggah konten flexing, terkadang bisa menjadi jalan pintas untuk memperkuat personal branding seseorang melalui aktivasi yang ditunjukkan dengan adanya respons warganet lewat like, share dan comment.

Tapi, jangan salah, perilaku flexing ini bisa juga menjadi buah simalakama. Setidaknya bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki gaji tidak selaras dengan harta yang dipamerkannya. 

Contoh teranyar dialami oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung Reihana. Berbekal golongan IV D, taksiran gaji yang didapat Reihana ini hanya sebesar Rp 5 jutaan, belum termasuk tunjangan. Dengan gaji yang tak selangit itu ternyata Reihana mampu memiliki tas maupun setelan baju branded berbanderol harga mencapai ratusan juta rupiah. 

Ini menjadi sesuatu yang janggal. Wajar jika warganet beraksi. Rasa kepo warganet untuk menelisik identitas dan latar belakang Reihana langsung dilakukan secara swadaya, kadang bergotong royong untuk diviralkan. Di dunia maya aksi ini dikenal dengan istilah doxing. Doxing diartikan sebagai suatu tindakan berbasis internet untuk meneliti, mencari tahu dan menyebarluaskan informasi pribadi secara publik pada seorang individu atau organisasi.

Warganet melakukan doxing pribadi Reihana ini sebagai reaksi terhadap sikap pemerintah Lampung yang dinilai tak bijak dalam merespons kritik TikToker Bima Yudho Saputra. Dalam konten digitalnya, Bima menyoroti tidak optimalnya pembangunan infrastruktur di Lampung. 

Saat artikel ini ditulis, KPK telah merespons suara warganet yang meminta agar pejabat ASN Lampung ini diperiksa darimana sumber kekayaannya. Entahlah apa yang akan dialami oleh Reihana dalam beberapa hari ke depan.

Namun yang pasti, akibat perilaku flexing ini sejumlah pejabat negara sudah merasakan dampaknya. Dalam 2-3 bulan terakhir ini, media sudah memberitakan adanya lima pejabat ASN yang diganjar hukuman akibat perilaku flexing, baik yang dilakukan secara pribadi langsung maupun anggota keluarganya. 

Pionirnya adalah Rafael Alun Trisambodo, mantan pegawai Kementerian Keuangan. Ia dipecat akibat ulah anaknya, Mario Dandy, yang gemar berperilaku hidup hedonis serta melakukan flexing barang mewah. Mario adalah remaja arogan bermental kerdil yang melakukan kekerasan bersama kawannya kepada David Ozora. 

Lalu ada juga mantan Sekretaris Daerah (sekda) Provinsi Riau, SF Hariyanto. Ia dipecat dari jabatannya akibat flexing yang dibuat oleh istrinya. Sementara kegemaran hidup mewah Eko Darmanto membuatnya harus melepaskan jabatan sebagai Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta

Kemarahan warganet

Praktek doxing yang dilakukan kepada pejabat negara yang gemar flexing ini sesungguhnya dapat dimaknai sebagai bentuk kemarahan publik. Kemarahan ini tentunya sangat berdasar. 

Pamer harta dari pejabat negara ini rasanya kurang pantas di saat manfaat ekonomi Indonesia masih belum tumbuh secara merata. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2022, tingkat kemiskinan Indonesia masih cukup besar. Tercatat hingga September 2022 ada sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan.

Selain itu, publik merasa kurang puas jika membandingkan antara kinerja dan gaji yang didapat para pejabat negara, baik yang ada di daerah maupun pusat. Hasil survei terbaru yang dirilis oleh Praxis Public Relations pada April 2023 ini, sebanyak 65,06 persen masyarakat masih belum puas terhadap layanan infrastruktur dan layanan publik pemerintah daerah. Persentasi angka yang tak jauh berbeda juga ditunjukkan pada kinerja pemerintah pusat. Riset tersebut melakukan surveinya terhadap 1.102 responden dengan rentang usia 16-45 tahun yang berada 12 kota di Indonesia.

Kemarahan yang baru diekspresikan melalui aksi-aksi doxing ini tentunya menjadi sinyal kuat kepada aparatur sipil negara maupun para pemegang otoritas pemerintahan agar lekas berbenah. Untuk menurunkan eskalasi kekecewaan itu hanya ada satu cara, yakni pembuktian bahwa pejabat flexing itu harus ditindak dan dihukum berat.

Pemecatan atau mutasi jabatan saja, rasanya tak cukup. Mengusut dan mengumumkan secara terbuka sumber harta para pejabat yang melakukan flexing itu menjadi bentuk keseriusan bahwa negara ini benar-benar dikelola oleh orang berintegritas baik. Jika ada ditemukan sumber dana hasil gratifikasi atau penyelewengan kekuasaan maka para pejabat negara tersebut sudah selayaknya dipenjara dengan hukuman maksimal. Bahkan hukuman itu bisa lebih dimaksimalkan dengan merampas harta para pejabat penggemar flexing tapi andai saja kebijakan melawan korupsi itu cukup berani disahkan oleh para anggota parlemen di Senayan. 

Sikap tanpa kompromi ini perlu dilakukan karena perilaku flexing dari pejabat negara itu hanya memperbesar rasa kecemburaan sosial di tengah kesenjangan ekonomi di negeri ini masih menganga. 

Terakhir, percayalah bahwa flexing bukanlah strategi terbaik dalam membangun dan memperkuat personal branding. Apalagi buat para pejabat negara yang tugasnya adalah pelayan kepentingan publik. Bekerjalah yang baik dengan orientasi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan justru pamer kekayaan yang dananya malah bersumber dari uang pajak rakyat atau uang yang harusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Secara tegas perlu dipahami bahwa flexing itu adalah perilaku norak yang dilakukan oleh orang-orang bermental miskin!

*Advisor for Crisis Public Relations Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement