Jumat 24 Mar 2023 02:29 WIB

Diplomasi Memalukan Yoon Suk Yeol

Seoul hanya mengharapkan sumbangan sukarela dari sektor swasta.

Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengibarkan bendera nasional selama upacara untuk merayakan Hari Pembebasan Korea dari penjajahan Jepang pada tahun 1945, di alun-alun kantor kepresidenan di Seoul, Korea Selatan, Senin, 15 Agustus 2022.
Foto: AP Photo/Ahn Young-joon, Pool
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengibarkan bendera nasional selama upacara untuk merayakan Hari Pembebasan Korea dari penjajahan Jepang pada tahun 1945, di alun-alun kantor kepresidenan di Seoul, Korea Selatan, Senin, 15 Agustus 2022.

Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah Korea Selatan (Korsel) secara resmi mengusulkan pemberian kompensasi kepada 15 warga Korea yang menjadi korban kerja paksa pada masa penjajahan Jepang. Kompensasi bakal diberikan lewat yayasan publik yang didukung Pemerintah Korsel.

Keputusan resmi yang disampaikan pemerintah pada 6 Maret lalu itu menuai kritikan di dalam negeri Korsel. Badan pendukung korban kerja paksa oleh Jepang dan dewan pengacara mengkritik langkah kompensasi pemerintah Korsel sebagai sebuah diplomasi yang memalukan bagi rakyat Korsel.

Pemberian kompensasi ini dinilai menghilangkan tanggung jawab yudisial perusahaan Jepang terkait kerja paksa. Selain itu, pemerintah Korsel dinilai bersikap rendah hati terhadap pemerintah Jepang, sehingga Jepang tidak meminta maaf atas kerja paksa tanpa beban finansial apapun. 

Ke-15 warga yang hendak diberi kompensasi oleh Pemerintah Korsel pernah menjadi korban kerja paksa oleh Mitsubishi Heavy Industries Ltd dan Nippon Steel Corp. Para korban kerja paksa sebenarnya sudah memenangkan gugatan hukum.

Pada 2018, Mahkamah Agung Korsel telah memerintahkan Mitsubishi Heavy Industries Ltd dan Nippon Steel Corp untuk membayar kompensasi kepada 15 warga Korea yang menjadi korban kerja paksa tersebut. Kedua perusahaan menghadapi risiko asetnya dilikuidasi di Korsel atas kasus itu. 

Alih-alih menuntut pertanggungjawaban langsung ke pihak terkait, sekarang Seoul hanya mengharapkan sumbangan sukarela dari sektor swasta, termasuk perusahaan Jepang. Sementara Jepang bersikeras semua masalah kompensasi diselesaikan oleh perjanjian 1965 yang menormalkan hubungan antara kedua negara. Padahal Jepang menjajah Korsel selama 35 tahun hingga akhir Perang Dunia II.

Hubungan Korsel dan Jepang terus renggang akibat keluhan terkait dengan pemerintahan brutal Jepang di Korea Selatan dari 1910 hingga 1945. Ratusan ribu orang Korea dimobilisasi sebagai pekerja paksa untuk perusahaan Jepang. Mereka juga menjadi budak seks di rumah bordil yang dikelola militer Jepang selama periode itu.

Uang untuk mengkompensasi para korban kerja paksa kemungkinan besar berasal dari perusahaan Korsel yang mendapat manfaat dari kesepakatan 1965 itu. Dana itu juga akan dibantu dari bantuan ekonomi dan pinjaman ratusan juta dolar dari Jepang ke Korsel.

Skema ini digunakan dalam proyek pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan, termasuk raksasa baja POSCO. Perusahan ini mengatakan akan mempertimbangkan untuk memberikan kontribusi dana jika diminta. Dana kompensasi tersebut bakal dihimpun oleh Yayasan Korban Mobilisasi Paksa yang berafiliasi dengan Kementerian Dalam Negeri Korsel.

Rencana pemberian kompensasi tersebut bertujuan untuk menyelesaikan kebuntuan selama bertahun-tahun dengan Jepang. Korsel ingin membangun kemitraan lebih erat dengan Jepang, terutama untuk menghadapi ancaman nuklir Korea Utara dan melawan pengaruh regional Cina.

Tak cukup lewat diplomasi kompensasi kerja paksa, untuk memulihkan hubungan bilateral kedua negara Asia Timur ini juga berencana memulihkan hubungan dagang mereka. Menurut kantor kepresidenan, Korsel juga menangguhkan kasus sengketa dagang yang dibawanya ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas pembatasan perdagangan Jepang.

Untuk memuluskan semua rencana itu, pada pekan ini Presiden Korsel Yoon Suk Yeol akan mengunjungi Tokyo untuk bertemu dengan Perdana Menteri Fumio Kishida. Kunjungan pada 16-17 Maret itu juga menjadi kunjungan pertama yang dilakukan seorang presiden Korsel sejak mantan Presiden Lee Myung-bak berkunjung ke Jepang pada 2011.

Menurut kantor kepresidenan Korsel, kunjungan ini akan menjadi tonggak penting bagi peningkatan dan pengembangan hubungan Korsel-Jepang. Semua itu ditempuh, kata kantor kepresidenan Korsel, agar Korsel dan Jepang bisa memupus sejarah buruk di masa lalu dan bergerak menyambut masa depan sehingga pertukaran masyarakat antara kedua negara bisa semakin dihidupkan.

Apakah diplomasi yang dilakukan pemerintah Korsel untuk memulihkan hubungan dengan Jepang akan berjalan mulus? Sementara para korban kerja paksa dan sejumlah kelompok masyarakat memprotes keras rencana pengalihan tanggung jawab pemberian kompensasi oleh pemerintahan Yoon Suk Yeol tersebut.

Namun, baik Korsel maupun Jepang akan menghormati deklarasi bersama tahun 1998 yang diadopsi oleh mantan presiden Kim Dae-jung serta mantan perdana menteri Keizo Obuchi. Dalam deklarasi tersebut, kedua pemimpin menyerukan untuk mengatasi masa lalu dan membangun hubungan baru. Kala itu Obuchi menyampaikan penyesalan atas 'kerusakan dan rasa sakit yang mengerikan' yang ditimbulkan oleh pemerintahan kolonial Jepang terhadap rakyat Korea.

 
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement