Kamis 02 Mar 2023 22:44 WIB

Polemik Boikot Pajak, Ini yang Menjadi Catatan Ulama Pakar Ushul Fiqih

Pemerintah harus menjaga amanah rakyat dari pajak

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Kiai yang dikenal sebagai ulama ushuli (ahli ushul fiqh) KH Afifuddin Muhadjir, mengingatkan pemerintah untuk mengelola pajak dengan benar.
Foto: Republika.co.id/Muhyiddin
Kiai yang dikenal sebagai ulama ushuli (ahli ushul fiqh) KH Afifuddin Muhadjir, mengingatkan pemerintah untuk mengelola pajak dengan benar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Akhir-akhir ini muncul kembali kasus dugaan penyelewengan dana pajak, sehingga masyarakat pun banyak yang kecewa. 

Bahkan, ada seruan agar masyarakat tidak membayar pajak lagi jika Rafael Alun Trisambodo terbukti menyelewengkan dana pajak.  

Baca Juga

Rafael Alun adalah mantan pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang kini menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Eks Kepala Bagian Umum Ditjen Pajak Kanwil Jakarta Selatan II itu tercatat memiliki harta hingga Rp 56,1 miliar. Namun, kekayaannya itu dinilai tak wajar mengingat profil karier Rafael selaku PNS di Ditjen Pajak tersebut.

Dengan adanya kasus dugaan penyelewngan itu, akhirnya muncul ajakan untuk menolak membayar pajak. 

Hal itu sebagai bentuk kemarahan masyarakat atas tindakan para pejabat pajak yang sering terjerat kasus penyelewengan dana pajak. 

Namun, ulama ushul fiqih dari Situbondo, KH Afifuddin Muhajir menilai, jika ada seruan menolak  membayar pajak, maka sebenarnya yang menjadi korbannya bukan oknum yang melakukan penyelewengan itu, tapi negara.  

"Ya penyelewengan itu kan oknum, kalau lalu ada gerakan anti bayar pajak kan yang menjadi korbannya bukan oknum tapi negara," ujar Kiai Afifuddin saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (2/3/2023).

Karena itu, menurut dia, yang perlu dilakukan sekarang ini sebenarnya bukan menyerukan agar masyarakat tak membayar pajak, melainkan bagaimana agar pengelolaan dana pajak itu sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.  

"Jadi yang penting prinsip-prinsipnya yang harus dipenuhi dulu, pajak harus dipenuhi, seharusnya dikelola seperti apa, dan siapa saja yang bisa menikmati dana pajak dan seterusnya," ucap Kiai Afifuddin.  

"Perkara ada yang menyeleweng itu kan oknum, dan oknum-oknum itu harus diberantas," imbuhnya.  

Kiai Afifuddin menjelaskan bahwa ada beberapa prinsip yang harus diterapkan dalam pengelolaan dana pajak. 

Pertama, menurut dia, pajak itu harus dibangun di atas prinsip keadilan. Dia pun mengartikan adil itu dengan "wad'u al-syai fi Mahallihi" yang artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Misalnya, terkait dengan besaran pajak yang harus dipungut, hal itu harus dikaitkan dengan kebutuhan negara untuk membiayai penyelenggaraan negara dan untuk melakukan pembangunan. 

"Kalau yang dibutuhkan misalnya Rp 100 Triliun kemudian memungut pajak Rp 200 Triliun itu namanya kan tidak adil. Jadi masalah besar kecilnya pungutan pajak juga harus dibahas," ucap kiai kelahiran Sampang, 20 Mei 1955 ini.  

Baca juga: Sulit Khusyu Ketika Sholat? Ini 3 Kiat yang Diajarkan Syekh As Syadzili

Kedua, lanjut dia, dalam Islam pengelolaan pajak itu juga harus dilakukan dengan benar. Karena itu, menurut Kiai Afifuddin, Islam tidak membenarkan jika ada penyelewengan dalam pengelolaan dana pajak.  

"Yang kedua, harus dikelola dengan benar dan baik. Kalau penyelewengan berarti yang namanya penyelewengan berkaitan dengan apa saja penyelewengan itu tidak benar," katanya.  

Sedangkan catatan yang ketiga, dana pajak itu harus disalurkan dengan cara yang benar. Menurut dia, dana pajak harus disalurkan kepada orang-orang yang berhak menerima pajak itu, termasuk masyarakat dengan ekonomi lemah. 

"Yang pertama ya sudah barang tentu para pegawai, para pejabat dan seterusnya, kemudian digunakan untuk melakukan pembangunan, dan yang tak kalah penting yang berhak menerima dana pajak itu adalah orang-orang yang ekonomi lemah, itu juga harus ikut menikmati pajak itu," jelas Kiai Afifuddin. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement