
Oleh : A Fahrur Rozi, mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aktivis Forum Mahasiswa Ciputat
Pelemahan terhadap MK juga dilihat dari penghinaan presiden terhadap putusan-putusan MK itu sendiri. Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, misalnya, yang mengamanatkan adanya perbaikan formil terhadap proses pengesahan UU Cipta Kerja.
Alih-alih melakukan perbaikan, pemerintah justru menggunakan kewenangan single executive dengan dalih keterdesakan untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja.
Potret pelemahan konstitusi itu membuka pergeseran baru konstitusi dalam praktik politik kekinian. Tentu makna dan entitasnya tidak sama lagi ketika konstitusi itu dikonstruksi dahulunya.
Pembangunan bangsa yang dikehendaki Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir dalam balutan pluralitas dan kebinekaan tentu sudah terlampau asing untuk konstitusi saat ini. Berpolitik bukan lagi dalam rangka berkonstitusi, melainkan rekayasa dan konsolidasi kepentingan dengan meruntuhkan kedaulatan konstitusi.
Dari sini, dekonstruksi berkonstitusi kekinian penting untuk dilakukan, utamanya terhadap para elit politik dan pemangku kekuasaan. Kurangnya memahami posisi konstitusi, kalau tidak mau disebut gagal, semata sebagai rule of law yang tertuang dalam teks-teks norma, atau konstitusi sebagai rule of ethics yang mengemban keluhuran bangsa.
Konstitusi dalam posisinya yang pertama hanya positivikal imperatif yang berpacu dengan norma legisme. Konstitusi jika dimaknai demikian potensial dijadikan alat rekayasa politik dan bukan sebagai tujuan bernegara. Kalkulasinya, sejauh mana konstitusi secara legisme mengakomodasi kepentingan-kepentingan.
Berbeda dalam posisinya yang kedua, konstitusi menyiratkan etikal imperatif terhadap kehendak kolektif masyarakatnya. Tak ayal jika Prof Jimly Asshiddiqie dalam syarah interpretasinya menghasilkan konstitusi sosial dan konstitusi ekonomi—atau bahkan konstitusi etik yang dalam proses penafsiran.
Baca juga: Sujud Syukur dan Kekalahan Pertama yang Tewaskan Puluhan Ribu Tentara Mongol di Ain Jalut
Pemaknaan yang demikian tidak melepaskan konstitusi dalam tiga domain penting, yaitu akumulasi pengalaman sejarah (kekhasan budaya), kemerdekaan bangsa (kedaulatan politik), dan negara kesejahteraan (kemandirian ekonomi). Alhasil, desain berpolitik dan dinamika bernegara penguasa dan warga negara tidak lain adalah berkonstitusi (Sukardi Sinakit, 2013).
Makna konstitusi demikian yang hilang saat ini. Praksis politik yang kepalang pragmatis dan materialis makin memperlebar jarak konstitusi dengan bangsanya. Politik yang dimaksud adalah politik yang meniscayakan modal besar, penggunaan identitas, dan bentuk transaksional sebagai jalan tempuh kekuasan.
Maka respect kepada akademisi dan aktivis ketatanegaraan yang terus berjuang seperti Bivitri Susanti, Feri Amsari, Zainal Arifin Mochtar, Titi Aggraini, Ferdian Andi, dan masih banyak lagi. Mereka dengan rela menjadi the guardian alternatif bagi konstitusi kita ketika fungsionalisasi MK mengalami pelemahan politik. Salam Konstitusi