Senin 13 Feb 2023 19:19 WIB

Saat Lantai 11 MA Jadi Saksi Bisu Kasus Suap Penanganan Perkara

Sudrajad Dimyati dijadwalkan menghadapi persidangan pada Rabu (15/2/2023).

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Tersangka Hakim Mahkamah Agung nonaktif Sudrajad Dimyati (kiri) berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan perdana di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (12/10/2022). Sudrajad Dimyati diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan menerima suap dari pihak yang berperkara di Mahkamah Agung.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Tersangka Hakim Mahkamah Agung nonaktif Sudrajad Dimyati (kiri) berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan perdana di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (12/10/2022). Sudrajad Dimyati diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan menerima suap dari pihak yang berperkara di Mahkamah Agung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ada sejumlah fakta baru dalam kasus dugaan suap penanganan perkara yang menjerat hakim agung dan pegawai Mahkamah Agung (MA). Salah satunya ternyata suap menyuap justru terjadi di lantai 11 gedung MA.

Hal itu terungkap dalam dakwaan terhadap hakim agung MA Sudrajad Dimyati di Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Bandung (SIPP PN Bandung) yang diakses Republika pada Senin (13/2/2023). Suap itu disebutkan terjadi pada 2 Juni 2022 sekitar jam 16.30 WIB.

Baca Juga

Kasus ini menjerat enam terdakwa selaku penerima suap. Yakni, Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati (SD), Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP), dua PNS Kepaniteraan MA Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH), serta dua PNS MA Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).

Sedangkan empat tersangka selaku pemberi suap yaitu dua pengacara, yakni Theodorus Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES), serta dua pihak swasta/debitur KSP Intidana yakni Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).

"Bertempat di Lantai 11 Gedung Mahkamah Agung RI, Elly Tri Pangestuti menerima uang yang menjadi bagian terdakwa (Sudrajat) dan Elly Tri Pangestuti dari Muhajir Habibie," tulis SIPP PN Bandung.

Uang suap disebutkan dimasukan dalam goodie bag warna pink berisi dua amplop yaitu satu amplop berisi 80 ribu dolar Singapura (Rp 913 juta) untuk Sudrajat dan satunya berisi 10 ribu dolar Singapura (Rp 114 juta) untuk Elly Tri Pangestuti.

"Selanjutnya bertempat di ruang kerja terdakwa, terdakwa menerima pemberian uang sebesar 80 ribu dolar Singapura dari Elly Tri Pangestuti," tulis SIPP PN Bandung.

Permintaan soal penyerahan uang suap di kantor MA ini disampaikan sendiri oleh Sudrajat kepada Elly sehari sebelumnya. "Bahwa pada tanggal 1 Juni 2022, Elly Tri Pangestuti menanyakan kepada Terdakwa waktu penyerahan uang pengurusan perkara dan dijawab oleh Terdakwa agar penyerahan uang dilakukan di kantor pada keesokan harinya (2 Juni)," tulis SIPP PN Bandung.

Uang suap tersebut berasal dari Theodorus Yosep Parera, Eko Suparno, Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto. Tujuan pemberian fulus itu untuk melicinkan perkara di MA.

"Dengan maksud untuk memengaruhi terdakwa selaku Hakim Agung pada Kamar Perdata Mahkamah Agung RI yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 874 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 agar perkaranya dikabulkan," tulis SIPP PN Bandung.

Perkara ini berawal saat Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana mengalami permasalahan yaitu deposan tidak terpenuhi hak-haknya serta KSP Intidana tidak memenuhi putusan perdamaian (homologasi) Nomor: 10/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN Niaga Smg tanggal 17 Desember 2015. Selanjutnya pada akhir tahun 2021 Heryanto Tanaka, Ivan Dwi Kusuma Sujanto, Rejoso Mulyono, Sri Djajati, Srijati Sulaeman selaku deposan KSP Intidana bertemu untuk berkonsultasi dengan Theodorus Yosep Parera di Semarang.

Dalam pertemuan tersebut, Theodorus Yosep Parera menyampaikan pendapat hukum untuk meyakinkan Heryanto Tanaka, Ivan Dwi Kusuma Sujanto serta para deposan KSP Intidana lainnya bahwa hak-hak mereka akan kembali. Selanjutnya, Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto serta 8 deposan lainnya sepakat menunjuk Theodorus Yosep Parera dan Eko Suparno sebagai kuasa hukum untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang untuk pembatalan putusan perdamaian (homologasi) Nomor: 10/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN Niaga Smg tanggal 17 Desember 2015.

Namun, gugatan itu ditolak pada 22 Maret 2022. Atas putusan tersebut, selanjutnya diajukan kasasi ke MA. Disini, Theodorus Yosep Parera menyarankan Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto untuk mengurus perkara ke Hakim Agung melalui Desy Yustria selaku Staf Kepaniteraan Bagian Kasasi MA dengan menyediakan sejumlah uang. Usulan itu pun disetujui Heryanto dan Ivan.

"Selanjutnya pada 9 Mei 2022 Theodorus Yosep Parera menghubungi Desy Yustria dengan mengirim foto permohonan kasasi dengan tujuan supaya Desy Yustria segera melakukan pengurusan perkara dimaksud. Dalam komunikasi tersebut, Theodorus Yosep Parera menyampaikan untuk pengurusan perkara kepada Hakim Agung yang memeriksa perkara kasasi tersebut akan disiapkan uang sebesar SGD 200 ribu (Rp2,28 miliar)," tulis SIPP Bandung.

Perbuatan Sudrajat diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c Jo. Pasal 18 atau Pasal 11 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Sudrajad dijadwalkan menghadapi persidangan kasus suap penanganan perkara MA di PN Bandung, Rabu (15/2/2023). Sebanyak 11 jaksa KPK ditugaskan untuk mengurus perkara itu.

Di sisi lain, setelah dilakukan pengembangan penyidikan perkara tersebut, KPK juga menetapkan empat tersangka lain yaitu Hakim Yustisial, Edy Wibowo; Hakim Agung, Gazalba Saleh; Hakim Yustisial, Prasetio Nugroho; dan staf Gazalba, Redhy Novarisza. Namun berkas perkara mereka belum sampai di tahap persidangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement