Selasa 07 Feb 2023 17:58 WIB

Proporsional Tertutup dan Ancaman Terhadap Otonomi Daerah

Akankah sistem pemilu kembali ke masa Orde Baru

Presiden Soeharto memasukkan surat suara ke dalam kotak suara pada pemilu 1977. ANTARA/IPPHOS  Baca selengkapnya di artikel
Foto:

 

Mengapa Menolak Proporsional Tertutup?

Mengapa kita harus menolak untuk kembali pada sistem proporsional tertutup? Jawaban singkat yang perlu disampaikan adalah asas kedaulatan rakyat. Pertanyaan mendasar yang harus sama-sama dijawab adalah, “Legislator itu wakil rakyat atau wakil partai?” atau yang lebih filosofis, “Siapakah sebenarnya yang berdaulat, rakyat atau partai?”, “Siapakah yang diwakili oleh lagislator itu, rakyat atau partai?” Persoalannya menjadi semakin pelik. Ini semata-mata persoalan sistem pemilu. Sistem proporsional tertutup, akan membuat wakil rakyat terisolir dari rakyat yang memilihnya. Rakyat tampil secara abstrak dan karenanya kurang berdaya. Sementara Pimpinan Pusat Partai adalah sosok konkret sehingga mereka menjadi perkasa.

Sistem proporsional tertutup yang meminta rakyat memilih tanda gambar partai tanpa peduli siapa yang mereka pilih menjadi anggota legislatif itu, sejatinya akan menjauhkan rakyat dari wakilnya, yang pada akhirnya meningkari asas kedaulatan rakyat. Sekurang-kurangnya, kedaulatan rakyat menjadi semu.

Satu hal yang menjadi ikutan logis dari sistem proporsional tertutup, dimana dominasi penuh pimpinan pusat partai, adalah lahirnya mekanisme Recall. Dan cerita paling heroik tentang recall terhadap angggota DPR yang dianggap “mbalelo” terhadap partai adalah ‘Recall Bambang Warih dari DPR’. Sistem proporsional tertutup memandang bahwa anggota legislatif tidak bersifat individual. Pimpinan Pusat Partai mencalonkan, rakyat tinggal memilih tanda gambar partai. Siapakah orangnya, menjadi kurang penting. Oleh karena itu, adalah “hak prerogatif” partai untuk me-recallanggotanya, kapan saja dan dengan alasan apa saja. Kondisi dan tindakan pimpinan partai seperti ini tidak dapat digangu gugat oleh pihak-pihak lain, karena recall semata-mata adalah “masalah intern” partai.

Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, kita berharap agar Mahkamah Konstitusi yang sedang mengadili permohonan judicial review UU Pemilu, khususnya terkait dengan sistem proporsional tertutup, yang diajukan oleh perorangan dan partai politik, bisa melihat dan mempertimbangan lebih luas dan mengambil keputusan yang seadil-adilnya, dalam arti adil bagi sebanyak-banyak kepentingan rakyat. Reformasi telah mengamanatkan agar Indonesia menjadi lebih baik, begitupun dalam praktik demokrasinya. Tekad Indonesia menggunakan sistem terbaik dalam Pemilu yang mampu mengartikulasikan jiwa dan semangat konstitusi serta keinginan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat, sebaiknyalah lebih diutamakan daripada mengembalikan kepada status quo dominasi pimpinan partai yang kurang menjanjikan. Di sisi lain, munculnya sebanyak mungkin sumber daya manusia dari daerah sebagai legislatir harus terus diupayakan dan dijaga. Demokrasi memang mahal dan sulit, sehingga kita harus mencapainya dengan segala i’tikad baik walaupun memerlukan waktu yang agak panjang.

Dan dalam perspektif desentralisasi politik, yang telah jauh berkembang seiring perkembangan otonomi daerah itu sendiri, selama lebih dari dua dasawarsa sebagaimana terkandung dalam semangat UU No. 22/1999, UU No. 32/2004, UU No. 8 Tahun 2005, UU No. 12 Tahun 2008, dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka pembangunan sistem pemilu yang lebih baik, yang mengakomodir semaksimal mungkin sumber daya daerah, perlu terus ditingkatkan, dan bukan sebaliknya set back!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement