Sabtu 04 Feb 2023 14:32 WIB

IDAI: Kunci Turunkan Stunting dengan Konsumsi Protein Hewani

Menurut Prof Damayanti, tidak semua balita pendek diklasifikasikan sebagai stunting.

Petugas mengukur tinggi badan bayi yang diidentifikasi mengalami stunting di Desa Sukadami, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Foto: Akhmad Nursyeha
Petugas mengukur tinggi badan bayi yang diidentifikasi mengalami stunting di Desa Sukadami, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menargetkan prevalensi stunting pada 2024 sebesar 14 persen. Adapun angka stunting tahun 2021 masih sebesar 24,4 persen. Sehingga untuk mencapai target tersebut, diperlukan penurunan 2,7 persen setiap tahun.

Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) dan Ketua Satgas Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof Damayanti Rusli Sjarif, mengaku, optimistis Indonesia mampu mencapai target selama konsisten menjalankan konsep yang terbukti secara ilmiah (scientifically proven). Menurut dia, hasil penelitian membuktikan zat makanan terpenting untuk mencegah stunting adalah protein.

"Kunci menurunkan stunting adalah mengonsumsi asam amino esensial lengkap dan cukup yang bersumber dari protein hewani. Penelitian lebih jauh mengungkap bahwa pangan sumber protein hewani mengandung asam amino esensial yang lengkap dan bisa didapatkan dari susu, telur, ikan, ayam dan lainnya," ucap Damayanti di Jakarta, Sabtu (4/2/2023).

Dia menjelaskan, tidak semua balita pendek itu diklasifikasikan sebagai stunting, melainkan ada yang mengalami kekurangan gizi berulang atau kronis. Banyak hal akan dialami anak jika mengalami kekurangan gizi terus menerus, dimulai dari anak mengalami kenaikan berat badan yang tidak adekuat (memadai) atau dikenal dengan weight faltering.

Contohnya saat bayi berusia 0-3 bulan mengalami kenaikan berat badan kurang 750 gram per bulan, jika tidak dilakukan intervensi segera, lama-kelamaan berat badannya akan berkurang (underweight). Hal itu berakibat penurunan imunitas, mudah terinfeksi penyakit, dan akhirnya mengalami gizi kurang dan gizi buruk, sehingga mempengaruhi pembentukan hormon pertumbuhan.

Damayanti menyinggung, ada dua hal yang bisa menyebabkan anak kekurangan gizi. Pertama, asupan tidak memadai. Hal itu bisa terjadi karena kemiskinan, penelantaran atau ketidaktahuan.

"Kedua, misalnya anak sering sakit, sehingga memiliki gangguan makan, atau memang memiliki masalah bayi berat lahir rendah (BBLR), prematuritas, dan kelainan metabolisme bawaan yang harus ditangani dengan pemberian nutrisi khusus atau disebut pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK)," jelas Damayanti.

Dia melanjutkan, orang tua memiliki peran penting dalam pencegahan dan penanganan stunting dengan pemenuhan nutrisi berkualitas pada anak. Jika anak telanjur mengalami stunting, sambung dia, bukan berarti tidak ada harapan.

Penelitian Graham McGregor di Jamaica memperlihatkan bahwa pangan lokal ditambah terapi nutrisi susu satu kilogram setiap pekan dilengkapi terapi stimulasi bermain selama 18 bulan pada anak yang mengalami stunting masih dapat mengejar hingga 90 persen potensi kecerdasan yang seharusnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement