Sabtu 28 Jan 2023 23:07 WIB

Sosiolog UMM: Setop Beri Hadiah Pada Konten Eksploitasi

Ngemis online adalah konten yang tidak pantas dan berdampak tak baik bagi masyarakat.

Aplikasi TikTok (ilustrasi). Kepala Program Studi (Prodi) Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, mengajak masyarakat untuk berhenti memberikan hadiah (gift) pada konten-konten yang mengeksploitasi, termasuk eksploitasi lanjut usia (lansia).
Foto: AP/Michael Dwyer, File
Aplikasi TikTok (ilustrasi). Kepala Program Studi (Prodi) Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, mengajak masyarakat untuk berhenti memberikan hadiah (gift) pada konten-konten yang mengeksploitasi, termasuk eksploitasi lanjut usia (lansia).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kepala Program Studi (Prodi) Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, mengajak masyarakat untuk berhenti memberikan hadiah (gift) pada konten-konten yang mengeksploitasi, termasuk eksploitasi lanjut usia (lansia).

"Konten eksploitasi lansia yang menjadi fenomena baru ngemis online ini membuat resah masyarakat. Fenomena ini juga membuat miris, karena meminta belas kasih orang lain, bahkan kini muncul di dunia maya," kata Luluk di Malang, Jawa Timur, Sabtu (28/1/2023) menanggapi maraknya ngemis online yang disiarkan langsung melalui TikTok.

Baca Juga

Mengemis daring yang semakin marak di berbagai media sosial tersebut, mencuat setelah salah satu akun TikTok bernama TM Mud Bath menuai banyak kritik dari warganet, karena siaran langsung di TikTok yang berisi mandi lumpur. Dalam konten itu juga melibatkan lansia yang membuat masyarakat iba dan berujung memberikan hadiah.

Menurut Luluk, yang melatarbelakangi maraknya mengemis daring adalah kemajuan teknologi. Apalagi, media sosial memberi kebebasan dan kemudahan kepada manusia untuk mengekspresikan dirinya untuk tujuan apapun, termasuk mencari uang. Selain itu, kemiskinan dan tuntutan yang semakin tinggi mendorong seseorang untuk mencari cara instan mendapatkan keuntungan.

"Ngemis online adalah solusi yang tepat menurut mereka, karena mendapatkan uang yang berasal dari pemberian netizen. Selain itu, juga adanya kesempatan, tidak adanya batasan tegas dari pihak media sosial dalam memilih dan memilah konten mana yang boleh dipublikasi dan tidak," ujarnya.

Latar belakang selanjutnya, kata Luluk, persepsi masyarakat tentang konten hiburan yang sudah bergeser. Dulu, definisi hiburan adalah menyenangkan dan tidak menyusahkan orang lain. Sekarang konten menyusahkan orang lain bisa dianggap sebagai hiburan, serta belum adanya perlindungan terhadap kelompok rentan, sehingga kelompok rentan sering menjadi sasaran eksploitasi.

"Semakin lunturnya nilai, etika, adat ketimuran, terutama di kalangan generasi muda juga menjadi latar belakang yang kuat, dan faktor budaya masyarakat Indonesia yang suka menolong dan punya belas kasihan tinggi. Memang tidak salah, tapi seringkali masih bisa dimainkan oleh kelompok tertentu," ujarnya.

Luluk mengatakan, Indonesia pada 21 Oktober 2022, didaulat sebagai negara paling dermawan di dunia dengan persentase 68 persen oleh World Giving Index (WGI) 2022. Adanya label tersebut, menjadi faktor pendukung lain terjadinya fenomena ngemis online.

"Siapa yang tidak tahu keramahan, kepedulian dan jiwa sosial orang Indonesia? Bahkan, kita tidak asing dengan salah satu desa yang dikenal dengan desa pengemis dan hidup masyarakatnya makmur. Tapi, kemakmuran mereka tidak menghentikan aksi. Nah, harusnya masyarakat Indonesia bisa lebih bijak, berpikir rasional dan bertindak dengan tegas," kata dia menjelaskan.

Baginya, ngemis online yang menjamur di media sosial sebagian besar melakukan eksploitasi terhadap kelompok rentan, termasuk lansia. Mengemis daring adalah konten yang tidak pantas dan memberikan dampak yang tidak baik bagi masyarakat, sebab konten tersebut mengajarkan konteks eksploitasi anak muda terhadap orang tua.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement