Senin 23 Jan 2023 16:13 WIB

Memaknai Usia Satu Abad Nahdlatul Ulama

Usia satu abad Nahdlatul Ulama memiliki kedudukan yang penting

Foto udara kirab santri membawa bendera Merah Putih dan Nahdlatul Ulama di Desa Ciwulan, Telagasari, Karawang, Jawa Barat (ilustrasi), Usia satu abad Nahdlatul Ulama memiliki kedudukan yang penting
Foto:

Oleh : Prof Asep Saepudin Jahar, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembina LAZISNU dan LWP PC NU Tangerang Selatan

Peringatan Satu Abad NU adalah evolusi penting dalam merefleksikan pencapaian dan tantangan ke depan dalam isu-isu keagamaan dan sosial yang disumbangkan sebagai solusi bagi bangsa. Ada dua peristiwa penting dari muktamar NU yang meninggalkan legacy yang sangat monumental. 

Pertama, Muktamar  1936 di Banjarmasin. NU berhasil menetapkan status Indonesia sebagai Wilayat al-Islam dan menolak milisi penjajah dengan mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad perang melawan Belanda pada November 1945. 

Dalam buku “Soekarno dan NU” dijelaskan konsistensi NU membela NKRI dan cara hidup berkebangsaan berdasar Pancasila. Karena itu, NU memberi dukungan penuh pemerintahan Soekarno sebagai walliyyul amri ad-dharuri bis syawkah (pemegang kekuasan negara darurat) pada 1954. 

Kedua, sumbangsih NU pada Muktamar 1984 di Situbondo. NU menerima Pancasila sebagai azas tunggal dalam organisasi. Kedua muktamar ini telah menjadi bukti kontribusi sikap kebangsaan NU bagi negara Republik Indonesia.  

Di masa Orde Baru, dinamika hubungan NU dan negara secara historis mengalami pasang surut.  misalnya, NU dianggap berseberangan dengan pemerintah. Sebab itu banyak ulama NU yang dikucilkan, demikiin pula pesantren, dipandang sebelah mata serta dibedakan dengan sistem sekolah umum lainnya. 

Sikap NU tetap adil, mengedepankan kemaslahatan bangsa dan keindonesiaan di atas kepentingan segelintir kelompok. Prinsip kaidah keagamaan, menjaga kepentingan umum di atas urusan kelompok, selalu dijadikan sebagai fondasi utama dalam menjaga kedamaian dan persatuan. Penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, misalnya, dilandasi narasi dan logika keagamaan dalam kebangsaan. 

Kendati kontestasi politik tentang azas tunggal menjelang Muktamar Situbondo yang ke-27 pada 1984 sangat keras, akhirnya NU menerima Pancasila sebagai azas tunggal secara literal (lafadz) dan makna. Secara makna Pancasila diterima sebagai bagian prinsip untuk kebangsaan namun tidak menyamakan setingkat dengan agama.

KH Ahmad Siddiq, yang berperan penting dalam perumusan penerimaan azas tunggal Pancasila mengatakan, “Nahdlatul Ulama dapat dibenarkan untuk memenuhi ajakan pemerintah tentang azas tunggal Pancasila, dengan pengertian bahwa hal itu tidak berarti Nahdlatul Ulama mengesampingkan Islam.” 

Ditegaskan pula bahwa “Agama dan Pancasila, keduanya dapat sejalan, saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya bersama-sama dilaksanakan dan diamalkan, tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain.” (Lihat KH Ahmad Siddiq, Islam dan Pancasila: PBNU, 2017). Di sinilah akomodasi etis NU yang sangat luhur dengan menempatkan agama dan Pancasila, sebagai konsep beragama sekaligus bernegara.  

Baca juga: Nasib Tragis Pendeta Saifuddin Ibrahim Penista Alquran, Jadi Pemulung di Amerika Serikat? 

Retrospektif Jam’iyyah

Rentang waktu yang panjang sebagai ormas yang mapan, Nahdhatul Ulama memiliki ciri yang khas dibanding organisasi lain di Indonesia maupun di dunia Islam. Kemapanan dari jumlah pengikut dan usia yang se-abad ini tidak selalu selaras dengan pencapaian ideal  bagi NU dan pengikutnya.

Usia se-abad, suatu masa yang melampaui usia proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebagai perkumpulan (jam’iyyah) setiap pengikut NU dihubungkan dengan kesamaan pemahaman amaliah dan ajaran ahlu sunna wal-jamaah. 

Survey LSI (Lingkaran Survey Indonesia) pada 2019 menjelaskan 49,5 persen mengaku sebagai NU dari total komunitas Muslim 87,8 persen. Artinya dari sisi Jam’iyah (perkumpulan) Nahdhatul Ulama adalah kemunitas yang sangat besar.

Namun jika dilihat secara sosiologis, kuantitas besar ini baru terhubungkan sebagai solidaritas mekanik. Max Weber (1864-1920) dalam karya magnum opusnya “Wirtschaft und Gesselschaft” mengingatkan kelemahan ikatan primordial yang menjadi ciri komunitas dengan basis loyalitas dan emosional. Ikatan asosiasi masyarakat bercirikan mekanik, bagi Weber, rentan dan mudah tereduksi oleh perubahan sosial. 

Sebab itu, Weber menjelaskan masyarakat perlu merekonstruksi dengan prinsip-prinsip rasional dan modern. Dasar masyarakat modern yang ada pada konsep Gesselschaft (society) akan lebih mengkondisikan rasionalitas dan solidaritas organik. Artinya, transformasi kepada perubahan modern di segala bidang menjadi agenda penting bagi NU.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement