Kamis 12 Jan 2023 05:21 WIB

Ribuan Nelayan Pantura Terancam Menganggur, Tuntut Tarif PNBP Diturunkan

Saat ini ada 20 kapal berbobot 50-60 GT yang tidak mampu lagi dioperasikan pemiliknya

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Nelayan memperbaiki kapal di dermaga perikanan Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Senin (6/6/2022). Ratusan kapal nelayan besar di daerah tersebut tidak melaut sejak sebulan terakhir akibat terimbas kenaikan harga BBM jenis solar industri yang mencapai Rp16.900 per liter.
Foto: ANTARA/Dedhez Anggara
Nelayan memperbaiki kapal di dermaga perikanan Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Senin (6/6/2022). Ratusan kapal nelayan besar di daerah tersebut tidak melaut sejak sebulan terakhir akibat terimbas kenaikan harga BBM jenis solar industri yang mencapai Rp16.900 per liter.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Ribuan nelayan di pantura Kabupaten Indramayu terancam menganggur. Hal itu seiring akan diberlakukannya tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pasca-Produksi, yang nilainya memberatkan para nelayan dan pemilik kapal.

Ketentuan mengenai PNBP Pasca-Produksi itu tertuang dalam PP Nomor 85 Tahun 2021. Dalam peraturan itu, PNBP Pasca-Produksi bagi kapal diatas 60 gross ton (GT) ditetapkan sebesar sepuluh persen dan bagi kapal di bawah 60 GT sebesar lima persen.

Ketua Umum Gerakan Nelayan Pantura (GNP), Kajidin, mengungkapkan, selama ini, nelayan dan pemilik kapal dihajar pandemi Covid-19, yang berdampak pada sulitnya ekspor perikanan sehingga menghancurkan harga ikan.

Belum lagi pulih dari pandemi, nelayan dan pemilik kapal juga harus menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), mahalnya biaya perbekalan melaut, dan cuaca ekstrim di perairan yang menghambat aktivitas pencarian ikan.

Ditambah lagi, lanjut Kajidin, adanya gonta-ganti kebijakan seiring pergantian pejabat yang terkait. "Sekarang muncul PNBP pasca-produksi, dimana kapal yang masuk, pendapatannya dipotong dengan nilai yang sangat besar, ya sakit dong kita. Dimana letak keadilan untuk kita?," ucap Kajidin kepada Republika, Rabu (11/1/2023).

Kajidin pun mempertanyakan peran pemerintah untuk membantu nelayan. Dia mencontohkan, untuk pengerukan muara agar kapal bisa mendarat di Pelabuhan Karangsong Indramayu, para pemilik kapal harus menggelontorkan anggaran sendiri sebesar Rp 1,3 miliar per tahun.

"Apa yang dilakukan pemerintah pada nelayan? Selama ini nelayan mengeruk sendiri pelabuhan supaya kapal bisa masuk," ucap Kajidin.

Meski demikian, Kajidin menyatakan, nelayan tidak menolak PNBP Pasca-Produksi. Menurutnya, nelayan hanya minta agar besaran PNBP tersebut diturunkan, yakni menjadi lima persen untuk kapal di atas 60 GT dan tiga persen untuk kapal dibawah 60 GT.

"Kami gak saklek kok. Silakan dipungut, tapi dengan besaran yang sesuai dengan kemampuan nelayan. Untuk kapal diatas 60 GT sebesar lima persen, dan kapal dibawah 60 GT sebesar tiga persen," tegas Kajidin.

Kajidin menyatakan, jika pemerintah memaksakan untuk menerapkan PNBP Pasca-Produksi sepuluh persen untuk kapal diatas 60 GT dan lima persen untuk kapal dibawah 60 GT, maka akan banyak pemilik kapal yang tidak bisa lagi mengoperasikan kapalnya.

"Dampaknya, ribuan nelayan yang menjadi ABK (anak buah kapal) akan menganggur," kata Kajidin.

Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal GNP, Robani Hendra Permana. Dia menyebutkan, untuk di sentra nelayan Desa Karangsong, Kecamatan/Kabupaten Indramayu saja, terdapat 600 unit kapal. Dari jumlah itu, 250 kapal berukuran diatas 60 GT dan sisanya dibawah 60 GT.

Untuk kapal diatas 60 GT, mempekerjakan ABK antara 14 – 17 orang per kapal. Sedangkan yang di bawah 60 GT, mempekerjakan ABK dengan jumlah yang bervariasi, tergantung ukuran kapalnya.

jumlah itu belum termasuk kapal dan nelayan di desa-desa lain yang menjadi sentra perikanan di Kabupaten Indramayu.

Robani menyatakan, sudah mengkaji dengan berbagai pertimbangan dan diskusi dengan banyak pihak. Hasilnya, jika PNBP Pasca Produksi sepuluh persen untuk kapal di atas 60 GT dan lima persen uintuk kapal di bawah 60 GT sampai diterapkan, maka akan banyak pemilik kapal yang tidak bisa bertahan sehingga membuat ABK kehilangan pekerjaan.

"Apakah pemerintah mau melihat rakyatnya seperti itu?," katanya.

Robani menyebutkan, ancaman itu saat ini sudah mulai terjadi. Di Desa Karangsong saja, saat ini sudah ada 20 kapal berbobot 50-60 GT yang tidak mampu lagi dioperasikan oleh pemiliknya.

"Beban pemilik kapal saat ini sangat berat. Kalau ditambah lagi dengan PNBP yang nilainya besar, maka kapal yang tidak bisa lagi beroperasi akan bertambah dan nelayan yang kehilangan pekerjaan semakin banyak," ujar Robani.

Salah seorang pemilik kapal ‘Lancar Subur’ di Desa Karangsong, H Amsori, mengatakan, saat ini nelayan sedang susah mendapatkan hasil tangkapan. Sedangkan di sisi lain, harga perbekalan mengalami kenaikan dan ditambah lagi ada biaya-biaya untuk perbaikan kapal, perbaikan jaring dan lainnya.

Amsori menjelaskan, mengeluarkan modal sebesar Rp 700 juta untuk biaya melaut kapalnya yang berbobot 60 GT. Kapal tersebut berlayar ke Laut Jawa.

Namun, lanjut Amsori, kapal tersebut belum lama ini pulang dan hanya membawa hasil tangkapan sebesar Rp 600 juta. Akibatnya, dia menanggung kerugian Rp 100 juta.

"Sekarang ya belum bisa pergi melaut lagi, masih cari-cari modalnya. Tolonglah pemerintah, pahami kesulitan nelayan," tutur Amsori.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Indramayu, Dedi Aryanto mengatakan, pihaknya sangat mendukung keinginan para nelayan agar besaran PNBP Pasca Produksi diturunkan.

"Kami akan sosialisasi ke seluruh HNSI di seluruh Indonesia untuk ikut mendukung nelayan di pantura Jawa," ucap Dedi.

Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, Edi Umaedi, mengaku, bisa memahami kondisi yang dialami nelayan Indramayu saat ini. "Kami bisa memaklumi itu. Ya kita usulkan saja, mudah-mudahan jadi pertimbangan yang matang dan adil. Nelayan juga bukan menolak, hanya ingin agar nominalnya berkurang, tidak sepuluh persen,’’ kata dia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement