Sabtu 31 Dec 2022 22:34 WIB

Memperkuat Preferensi Sosial Industri Halal di Indonesia

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri halal.

Ilustrasi Wisata Halal. Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri halal.
Foto:

Memahami “DNA” Selera Anak Bangsa

Pertumbuhan pasar dan produk halal dunia ini telah mendorong tumbuhnya gaya hidup halal (halal lifestyle) di banyak belahan dunia. Pada level individu, tren halal lifestyle ditandai makin membaiknya kesadaran halal (halal awareness) masyarakat yang tak terbatas hanya pada kalangan muslim saja. Apalagi dari besarnya populasi muslim dunia, porsi terbesar berumur dikitaran 30 tahun kebawah yang notabene adalah generasi muda, dengan tingkat pertumbuhan 1,5 persen.

Mungkin ini adalah manifestasi dari prediksi tren sosial dunia yang pernah disampaikan oleh futuris visioner John Naisbitt dan Patricia Aburdene pada tahun 1982 dalam bukunya Megatrends 2000 yang menyebutkan masyarakat dunia pada medio 2000-an dan seterusnya semakin mengalami peningkatan dalam kecenderungan gaya hidup sehat, semangat spiritualisme, dan gaya hidup seimbang antara kerja dan keluarga (work life balance). Tren sosial ini berdampak signifikan terhadap perkembangan pasar dan industri yang cenderung menguatkan peran ‘etika’ dalam investasi, konsumsi, bisnis dan tata kelola usaha.

Di Indonesia, fenomena konsumen memilih makanan dan minuman halal, belanja produk yang halal, trend hijab dan modest fashion yang makin berkelas, rekreasi ke destinasi wisata yang menyediakan kebutuhan dasarnya sebagai Muslim (muslim friendly), atau bertransaksi menggunakan produk-produk keuangan syariah bukan hal yang asing. Semua itu bisa disebut halal lifestyle sebab dilandasi kesadaran bahwa halal tidak lagi sekedar karena perintah agama, tetapi memang baik, berguna bagi kehidupan, dan lebih memenangkan.

Generasi muda Muslim Indonesia terus bergerak menjadi ‘muslim futurist’ yang secara ekonomi terus membaik tetapi juga makin relijius, dan memiliki semangat spritual dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Mereka berperan mendorong perubahan dan kemajuan sosial masyarakat dengan berbagai inovasi dan entrepreneurship, serta terbuka terhadap perubahan. Ya, mereka makin modern, trendi, digital, dan tech savvy.

Kemudian jika kita melihat dari supply side, produk dan jasa halal memang semakin bersifat universal dan menarik bagi semua tipologi konsumen, terutama bagi yang memiliki kepedulian dengan kesehatan, etika konsumsi, serta sosial kemasyarakatan, dan lingkungan. Adanya digital connectivity yang semakin canggih dan terintegrasi juga memberikan energi gerak yang cepat untuk pertumbuhan e-commerce dalam memasarkan produk halal, juga digital banking, yang melintasi batas-batas negara. Kombinasi faktor-faktor tersebut semakin mendorong tumbuhnya permintaan produk maupun jasa halal secara domestik dan global.

Belajar dari K-Wave: Meramu Strategi

Demi cita-cita Indonesia untuk jadi pusat industri halal dunia, maka selain penataan ekosistem industri nasional sebagai back-end, kita juga perlu menjadi trend setter yang mampu mendesain dan “mengekspor” trend halal lifestyle ke berbagai negara sehingga “demam” halal itu melanda dunia seperti halnya “demam” K-Wave yang fenomenal. Ekspor lifestyle ini, kita sebut saja misalnya “Halal Wave (H-Wave)”, diharapkan akan memberikan dampak ikutan yang kuat terhadap ekspansi pasar produk halal nasional di seluruh dunia.

Begitu disebut tentang halal, maka Indonesialah yang menjadi top of mind dari warga dunia yang melekat dalam alam bawah sadarnya. Tentu ini adalah kepantasan peran yang melekat bagi sebuah negara yang punya visi untuk jadi aktor global yang leading di pasar dunia. Kurang elok sepertinya jika kita akan menjadi pusat industri halal dunia, namun sebagai aktor global kita bukanlah episentrum dari culture dan trend halal lifestyle tersebut.

Jika kita belajar dari fenomena K-Wave atau hallyu, semua itu terjadi karena adanya loyalitas antara fans dan idolanya, yang mampu membangun pendekatan emosional yang kuat, sehingga lebih jauh lagi akan mendorong untuk memakai, menggunakan, dan mengkonsumsi apapun yang terkait dengan idolanya tersebut. Dan di titik inilah, fenomena budaya mulai meluas dan bertransformasi menjadi fenomena bisnis dan ekonomi.

Hal yang sama juga dapat diterapkan dalam produk halal dengan membangun loyalitas antara produk halal dan konsumen. Walau mungkin bukan yang utama, namun juga dapat dilakukan dengan misalnya, pertama, menjadikan para selebriti, tokoh terkenal, maupun influencer menjadi brand ambassador dari berbagai merk produk halal yang digunakan sehari-hari dengan pesan sadar halal yang baik dan tepat.

Kedua, menyiarkan di media massa berbagai keunggulan universal yang didapatkan dengan menggunakan produk halal yang dapat memberikan daya tarik dan rasa menenangkan, misalnya produk yang bersertifikat halal berarti terjamin kualitas, proses, dan kebersihannya. Ketiga, dengan installing pesan-pesan halal langsung ataupun tak langsung dalam berbagai konten video hiburan, drama, film, lagu, ataupun iklan-iklan yang ada.

Tentunya langkah-langkah ini harus terorkestrasi dalam suatu desain strategi bersama yang baik, sehingga pesan-pesan yang tersampaikan tersebut mampu memberikan ketenangan, kebahagiaan, dan hiburan yang lebih jauh lagi mampu membangun ikatan emosi yang kuat. Dalam penyampaian pesan-pesan halal melalui berbagai sarana tersebut, setidaknya faktor-faktor berikut perlu menjadi perhatian dan terimplementasi dalam strategi komunikasinya, yang diharapkan lebih jauh dapat memulai dan memperkuat trend setter halal lifestyle dalam suatu arus“Halal Wave” (H-Wave), yaitu:

(1) Social engineering

Social engineering sering dikaitkan dengan hal yang bersifat negatif yaitu dianggap sebagai motivasi politik yang berdampak pada perilaku individu. Padahal sebaliknya, social engineering juga adalah sesuatu yang positif, dimana salah satu aspek yang disepakati adalah social engineering merupakan metode yang diterapkan untuk mengelola perubahan dan dampak sosial. Maka dari itu, contoh dari social engineering antara lain pemasaran, public relations, periklanan, dan lain lain.

Dengan social engineering, produk halal dapat dipasarkan secara lebih mudah dan dengan penyampaian yang bersifat soft selling melalui berbagai macam jenis pemasaran, seperti melalui endorse atau iklan layanan sehingga masyarakat dapat lebih aware dan lebih banyak mengkonsumsi produk halal.

(2) Marketing psychology

Pada proses pengambilan keputusan, terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan yaitu dari sisi rasional dan dari sisi emosional atau psikologis. Psikologis memiliki peran besar dalam memengaruhi bagaimana pembeli bertindak dan bereaksi. Maka dari itu, terdapat teknik pemasaran psikologi yang bertujuan untuk menanamkan hubungan pribadi antara pembeli dan penjual (Tillman, 2016).

Akar dari hubungan antara penjual dan pembeli itu sendiri adalah kepercayaan yang dirasakan. Apabila pembeli telah menjalin hubungan dengan merk tertentu dan percaya apa pun produk yang ditawarkan telah sesuai dengan pembeli, maka pembeli dapat mengambil keputusan lebih cepat (Tillman, 2016).

(3) Subliminal messages

Subliminal message atau pesan bawah sadar adalah kata-kata atau gambar yang disajikan di bawah kesadaran manusia. Bentuk dari subliminal message biasanya adalah video di mana terdapat subliminal message sekilas atau begitu cepat, sehingga pikiran kita tidak mencatat kemunculannya. Di sisi lain, supraliminal messages menyajikan informasi atau pesan pada waktu yang lebih panjang, sehingga kita bisa menyadari ada pesan yang disampaikan (Debes, 2021).

Penelitian sebelumnya telah meneliti terkait subliminal message antara lain penelitian yang dilakukan Cooper & Cooper (2002) di mana para peneliti memasukkan selusin bingkai kaleng Coca-Cola dan selusin kata “haus” dalam sebuah episode “The Simpsons”. Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa 27 persen peserta merasa lebih haus dibandingkan sebelum menonton acara tersebut.

(4) Nudge theory

Teori Nudge (Thaler & Susntein, 2008) pada behavioural economics membuktikan manusia sebenarnya begitu mudah dipengaruhi. Nudge sendiri berarti dorongan, yang dapat dijelaskan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan arsitektur pilihan yang dapat mengubah perilaku seseorang dengan terukur dengan tidak membatasi pilihan (freedom of choice) atau secara signifikan mengubah keuntungan ekonomisnya dan memberikan perasaan memiliki kontrol (feel in control) atas keputusan yang dibuatnya (Imperial College London, n.d.).

Nudge juga didefinisikan sebagai manipulasi lingkungan dengan tujuan memberikan alternatif dan opsi yang lebih baik dibandingkan lainnya. Pada nudge theory lebih efektif untuk mendorong pilihan yang positif daripada membatasi perilaku yang tidak diinginkan dengan sanksi (Lin et al., 2017).

Teori nudge dapat diterapkan dalam meningkatkan awareness masyarakat Indonesia terkait produk halal. Dengan memposisikan makanan halal adalah makanan yang baik diantara makanan non-halal, tetapi tidak melarang adanya produk non-halal di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement