Senin 05 Dec 2022 17:28 WIB

Inisiatif Pemerintah Daftarkan Kebaya ke UNESCO Dinilai Tepat

Sandiaga memutuskan untuk mendaftarkan kebaya melalui jalur single nomination.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah perempuan mengikuti parade kebaya dalam kampanye Gerakan Kebaya Goes to UNESCO saat hari bebas berkendaraan bermotor atau Car Free Day, di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Sejumlah perempuan mengikuti parade kebaya dalam kampanye Gerakan Kebaya Goes to UNESCO saat hari bebas berkendaraan bermotor atau Car Free Day, di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar sejarah Universitas Airlangga (Unair), Moordiati menanggapi rencana usulan kebaya sebagai salah satu warisan tak benda UNESCO oleh Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand, yang menuai kontroversi. Isu tersebut bahkan langsung ditanggapi langsung oleh Menparekraf Sandiaga Uno yang menegaskan kebaya adalah budaya luhur milik bangsa Indonesia.

Sandiaga pun secara resmi memutuskan untuk mendaftarkan kebaya melalui jalur single nomination. Menurut Moordiati, keputusan pemerintah untuk mendaftarkan kebaya melalui jalur single nomination adalah keputusan yang tepat.

Baca Juga

"Hanya saja, pemerintah perlu menjelaskan kembali bagaimana patron kebaya Indonesia untuk meluruskan kontroversi tersebut," kata Moordiati, Senin (5/12/2022).

Moordiati menjelaskan, dalam proses sejarahnya, kebaya sudah diklaim oleh bangsa Indonesia pada masa pemerintahan presiden Soekarno dalam Kongres Wanita Indonesia, tepatnya pada 1964. Dalam kongres tersebut, presiden Soekarno mengatakan, kebaya merupakan busana nasional Indonesia, tanpa embel-embel pelengkap apa pun.

Catatan sejarah tersebut, lanjut Moordiati, yang sebenarnya juga perlu Indonesia sampaikan kembali ketika proses pengusulan ke UNESCO. "Meskipun banyak orang mengklaim budaya kita, jika kita berkaca ke sejarah, kita bisa menampilkan karakteristik budaya kita sendiri," ujarnya.

Ia melanjutkan, jika membaca secara general tulisan Anthony Reid yang berjudul Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, sebenarnya masyarakat Asia Tenggara itu sama, tidak punya kekhususan ataupun keunikan dalam cara berpakaian. Tapi ketika budaya Barat masuk, mereka hidup bersama dan berpakaian ala Barat.

"Kemudian, ada itikad baik dari masyarakat Indonesia untuk memakai pakaian yang mencerminkan locality. Dari sanalah, masyarakat Indonesia menampilkan pakaian-pakaian khasnya," kata Moordiati.

Moordiati menuturkan, negara-negara di Asia Tenggara memang mengenal dan memiliki kebaya. Tetapi kebaya Indonesia dengan kebaya-kebaya di Asia Tenggara lainnya jelas memiliki karakteristik yang berbeda.

Dalam hal ini, kebaya menurut pandangan masyarakat Indonesia adalah kebaya yang dipakai ketika rezim pemerintahan Soeharto. Tidak ada representasi atau identifikasi keislaman yang bertujuan untuk menutup aurat seperti kebaya orang Muslim di Malaysia dan Brunei Darussalam.

Kegaduhan ini, kata dia, harus diluruskan dengan cara menjelaskan secara jelas patron yang disebut kebaya itu seperti apa. Jangan digeneralisir karena masyarakat juga mengenal kebaya encim Cina yang itu juga ada di kawasan Malaysia dan Singapura.

"Artinya, kebaya yang made in Indonesia itu seperti apa, yaitu ada kuduk baru, tidak ada leher shanghai. Pelengkap dari kebaya itu apa, panjangnya berapa. Ini yang harus dijelaskan ketika mengusulkan sebagai warisan kepada UNESCO," ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement