Rabu 12 Oct 2022 13:37 WIB

Agenda Mendesak untuk Reformasi Hukum yang Buram

Reformasi hukum sudah sangat mendesak.

Warga melintas di depan mural yang bertuliskan Jadikan Koruptor Pahlawan (ilustrasi).. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto:

Wajah Buram Hukum

Berbagai problem hukum yang terjadi bila dilakukan pendekatan dengan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, menunjukkan adanya problem di ketiga subsistem hukum, yaitu struktur, substansi dan kultur hukum di Indonesia. Struktur hukum sangat berpengaruh terhadap substansi dan budaya hukum, karena struktur hukum merupakan unsur mendasar dari sistem hukum. Struktur hukum meliputi pranata, prosedur, serta yurisdiksi penegakan hukum dan orang yang terlibat di dalamnyaDi dalam struktur ini mencakup lembaga eksekutif sebagai pelaksana undang-undang seperti kejaksaan dan kepolisian, legeslatif sebagai pembuat undang-undang, yudikatif yaitu pengadilan sebagai pelaksana penegakan hukum, serta lembaga-lembaga terkait seperti KPK, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi.

Pada struktur hukum ini, publik kerap mencurigai adanya tarik-menarik kepentingan antara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Undang-undang bisa disahkan karena kuatnya pengaruh eksekutif, seperti pada kasus UU Ormas, UU Cipta Kerja dan sebagainya. Dalam hal penegakan hukum, seperti sudah dipaparkan di awal tulisan ini, ada tarik menarik antara lembaga penegak hukum dengan kepentingan politik seperti pada kasus Anies, Harun Masiku, Lukas Enembe, Pinangki, Juliari dan sebagainya.

Terjadinya proses tarik menarik kepentingan politik dimungkinkan terjadi karena konstruksi pengisian jabatan pada lembaga hukum harus melalui proses politik yaitu melalui pemerintah dan DPR. Dengan konstruksi seperti itu membuka ruang terjadinya : intervensi eksekutif terhadap proses peradilan, berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif dalam proses peradilan, penegakan hukum belum memberi rasa keadilan pada rakyat dalam menghadapi sengketa dengan penguasa.

Struktur hukum yang tidak mampu menegakkan sistem hukum seperti yang terjadi akhir-akhir ini, dikhawatirkan akan memicu ketidaktaatan (disobedience) rakyat terhadap hukum. Bentuk disobedience tercermin dari sikap permisif masyarakat terhadap suap di pengadilan. Ada dua bentuk suap yang biasa terjadi di pengadilan, pertama suap untuk memenangkan kasusnya; kedua suap agar kasus yang dihadapinya diselesaikan dengan segera untuk memperoleh kepastian hukum. 

Struktur hukum dapat berjalan dengan baik atau sebaliknya menjadi buruk, tergantung pada pelaksananya yaitu aparatur penegak hukum. Kinerja mereka menentukan bagaimana hukum ditegakkan atau bahkan dikebiri. Hal ini terlihat dalam proses sistemik “diskon hukum koruptor.” Sejak meninggalnya Hakim Agung Artidjo Alkostar banyak kasus korupsi divonis hukuman ringan. Menurut data ICW, selama tahun 2021 ada 900 terdakwa korupsi divonis ringan rerata vonis pengadilan hanya mencapai 3 tahun 5 bulan, dan apabila yang melakukan korupsi merupakan aparat penegak hukum, yang logikanya harus dihukum lebih berat, tetapi justru mendapat hukuman ringan.

Upaya keringanan hukuman bagi koruptor juga dilakukan secara sistemik. Bermula dari perubahan UU KPK, dimana pada Pasal 3 dinyatakan bahwa KPK lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, bukan lagi lembaga yudikatif yang setara dengan eksekutif sebagaimana sebelum UU KPK No 19 tahun 2019. Selanjutnya tahun 2021 dilakukan pembatalan PP 99 Tahun 2012 pada ketentuan yang mengatur tentang pengetatan remisi bagi terpidana korupsi. Pembatalan beberapa ketentuan PP 99 tahun 2012 oleh MA itu segera ditindaklanjuti oleh Kemenkumham dengan menerbitkan Peraturan Menkumham No 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement