Senin 03 Oct 2022 09:40 WIB

Presiden Burkina Faso Mengundurkan Diri dengan Syarat

Syarat tersebut termasuk menghindari kekerasan berkelanjutan setelah kudeta Jumat.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Friska Yolandha
Presiden Burkina Faso Paul Henri Sandaogo Damiba berpidato di sesi ke-77 Majelis Umum PBB, Jumat, 23 September 2022, di markas besar PBB.
Foto: AP Photo/Julia Nikhinson
Presiden Burkina Faso Paul Henri Sandaogo Damiba berpidato di sesi ke-77 Majelis Umum PBB, Jumat, 23 September 2022, di markas besar PBB.

REPUBLIKA.CO.ID, OUAGADOUGOU -- Presiden Burkina Faso Paul-Henri Damiba mengajukan pengunduran diri bersyarat yang ditawarkan kepada pemimpin militer yang melakukan kudeta, Kapten Ibrahim Traore, Ahad (2/10/2022). Syarat tersebut termasuk menghindari kekerasan berkelanjutan setelah kudeta Jumat pekan lalu.

Menurut kesepakatan yang diumumkan, Traore telah menyetujui tujuh syarat yang diajukan. Syarat tersebut di antaranya jaminan keselamatan Damiba dan keamanan tentara yang mendukungnya, serta menghormati janji yang dibuat ke blok regional Afrika Barat untuk kembali ke aturan konstitusional paling lambat Juli 2024.

Baca Juga

Damiba tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar soal pengunduran diri ini. Namun seorang anggota keluarga dekat mengatakan bahwa ia meninggalkan negara itu pada Ahad.

Sebelumnya Traore mengatakan ketertiban telah dipulihkan setelah protes keras terhadap kedutaan Prancis dan pertempuran saat faksinya bergerak untuk menggulingkan pemerintah militer. Perpecahan pun telah muncul di dalam tentara. Banyak tentara mencari dukungan Rusia karena pengaruh bekas kekuasaan kolonial Prancis berkurang.

Setidaknya tiga video terpisah yang dibagikan secara online menunjukkan tentara di atas pengangkut personel lapis baja. Mereka mengibarkan bendera Rusia, sementara kerumunan di sekitar meneriakkan "Rusia! Rusia!".

photo
Para pendukung Kapten Ibrahim Traore berparade mengibarkan bendera Rusia di jalan-jalan Ouagadougou, Burkina Faso, Minggu, 2 Oktober 2022. Kepemimpinan junta baru Burkina Faso menyerukan ketenangan setelah Kedutaan Besar Prancis dan gedung-gedung lainnya diserang. Kerusuhan setelah kudeta kedua negara Afrika Barat tahun ini terjadi setelah pernyataan junta menuduh bahwa presiden sementara yang digulingkan itu berada di sebuah pangkalan militer Prancis di Ouagadougou. Prancis dengan keras membantah klaim tersebut dan telah mendesak warganya untuk tetap tinggal di dalam rumah di tengah meningkatnya sentimen anti-Prancis di jalanan. - (AP Photo/Sophie Garcia)

Tim Traore mendesak orang-orang untuk menghentikan serangan terhadap kedutaan besar Prancis. Kedubes menjadi sasaran para pengunjuk rasa setelah seorang perwira mengatakan Prancis telah melindungi Damiba di sebuah pangkalan militer Prancis dan bahwa ia merencanakan serangan balasan.

Kementerian luar negeri Prancis membantah pangkalan itu telah menampung Damiba setelah penggulingannya pada Jumat. Damiba juga membantah dia berada di pangkalan tersebut dan mengatakan bahwa laporan itu adalah manipulasi opini publik yang disengaja.

Ouagadougou sebagian besar tenang pada Ahad setelah tembakan sporadis di seluruh ibu kota sepanjang Sabtu antara faksi-faksi tentara yang berlawanan. "Kami mengundang Anda untuk melanjutkan aktivitas Anda dan menahan diri dari semua tindakan kekerasan dan vandalisme terutama terhadap kedutaan Prancis dan pangkalan militer Prancis," kata petugas yang setia kepada Traore.

Damiba sendiri memimpin kudeta awal tahun ini terhadap pemerintah sipil yang telah kehilangan dukungan atas meningkatnya kekerasan oleh ekstremis Islam. Namun kegagalan Damiba untuk menghentikan kelompok militan telah menyebabkan kemarahan di jajaran angkatan bersenjata negara.

Perpecahan telah muncul di dalam tentara juga mengenai apakah akan mencari bantuan dari mitra internasional lainnya untuk memerangi gerilyawan. Para prajurit yang menggulingkan Damiba mengatakan mantan pemimpin yang telah mereka bantu untuk merebut kekuasaan pada Januari, mengingkari rencana untuk mencari mitra lain.

Mereka tidak menyebutkan mitra, tetapi pengamat dan pendukung mengatakan tentara menginginkan kemitraan yang lebih erat dengan Rusia, seperti yang dilakukan tentara yang merebut kekuasaan di negara tetangga Mali pada Agustus 2020.

Burkina Faso telah menjadi pusat serangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terkait dengan Al Qaeda dan ISIS. Ini dimulai setelah kekerasan di negara tetangga Mali pada 2012 menyebar ke negara-negara lain di selatan Gurun Sahara.

Ribuan orang tewas dalam penggerebekan di komunitas pedesaan dan jutaan orang terpaksa mengungsi meskipun Damiba berjanji untuk mengatasi ketidakamanan menyusul kudetanya pada Januari. Pekan ini saja,sedikitnya 11 tentara tewas dalam serangan di utara negara itu dan puluhan warga sipil hilang usai serangan itu.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement