Rabu 31 Aug 2022 11:44 WIB

Meninjau Ulang Kewajiban Spin-off UUS untuk Kebaikan Industri Syariah

Dilema industri perbankan syariah di Indonesia.

Karyawan Bank Syariah sebuah melayani nasabah. (ilustrasi)
Foto:

Isu penting

Sejatinya, keputusan apakah perlu melakukan spin off sekarang atau tidak, bukanlah perkara yang seharusnya menjadi isu dan fokus perbankan Syariah saat ini. Karena Indonesia masih belum sepenuhnya keluar dari kondisi pandemi COVID-19. Kondisi geopolitik global juga belum stabil diiringi inflasi dan stagflasi yang menghampiri dan menyelimuti hampir semua sisi dunia.

Hemat penulis, sebaliknya, kita seharusnya fokus kepada apa yang menjadi obyektif dari undang-undang perbankan Syariah, yaitu agar perbankan Syariah Indonesia dapat tumbuh di tingkat nasional hingga hingga memasuki dunia global dan turut berpartisipasi secara aktif di tingkat internasional. 

Perlu diingat, dalam konteks ini hal yang dibicarakan tidak mengenai aspek agama atau untuk mengubah pandangan religi siapa pun. Hal yang yang menjadi perhatian adalah sepenuhnya mengenai industri perbankan di mana industri perbankan Syariah di Indonesia merupakan blue ocean yang ukurannya saat ini masih sangat kecil. Sungguh ironis mengingat negeri ini merupakan negara yang memiliki potensi tertinggi untuk kemajuan ekonomi halal dan perbankan Syariah di dunia. 

 Ini adalah soal  ekonomi, keberlanjutan, dan potensi yang sedemikian besar yang belum dapat diraup Indonesia sekian lama. Dikarenakan kenyataannya industri perbankan Syariah seolah menghadapi tembok yang tidak terlihat (glass ceiling) dan seolah menjadi kutukan permanen di negeri ini. Apabila spin off merupakan jawabannya? Jika ya, seharusnya tembok ini sudah tidak ada saat beberapa bank daerah melakukan spin off dan bahkan beberapa BUS sudah melakukan merger beberapa saat lalu.

Kenyataannya, glass ceiling hanya terlampaui sesaat dan glass ceilingbaru tetap ada meskipun berbagai usaha dalam keterbatasan regulasi dan peraturan sudah dilakukan. Hal tersebut seharusnya membangunkan kita pada kenyataan, spin off atau usaha memperbesar sisi ‘supply’ bukanlah jawaban dan hal tersebut tidak menghilangkan glass ceiling yang industri hadapi sudah lebih dari satu dekade lamanya. 

 Kenyataannya, bahkan saat ini ada dana-dana yang terparkir di perbankan Syariah belum dapat dioptimalkan dikarenakan keterbatasan aktifitas yang diizinkan regulasi. Hal tersebut sewajarnya membuat kita menyadari bahwa sisi ‘demand’ yang perlu dikejar dan sisi demand ini bukan berarti kita dapat menambah jumlah penduduk Indonesia atau meningkatkan segmen khusus yang religi, karena kenyataannya, ketika kita berbicara tentang bisnis, tentang ekonomi, “rupiah sense” (value proposition) lebih dominan berbicara, bukan masalah agama. 

Artinya, produk dan jasa Syariah harus lebih berkualitas, lebih menarik, lebih dapat diakses dan yang paling utama lebih menarik untuk nasabah dari segi harga (pricing). Apabila kita fokus di sisi ini maka menjadi jelas ada beberapa faktor yang menjadi penghambat, yang mempersulit perbankan Syariah untuk menjadi optimal di sisi tersebut termasuk, antara lain, dikarenakan intensitas pasar (market intensity) dan lingkungan yang belum memadai (non-supportive environment).   

Dari segi intensitas pasar (market intensity) di Indonesia, meskipun sudah dimulai sejak lebih dari 14 tahun yang lalu, Industri perbankan Syariah masih terlalu kecil sehingga tidak mempunyai kapasitas kompetisi yang memadai di pasaran Indonesia yang sudah didominan perbankan konvensional. Kondisi pasar untuk industri perbankan Syariah menjadi lebih menantang dengan adanya ketentuan-ketentuan pembatas atau tidak dikenalnya prinsip-prinsip pendukung yang menyebabkan bisnis dan penawaran produk dan jasa Syariah menjadi lebih mahal berbanding pola bisnis konvensional.

Selain itu terdapat ketentuan yang turut mempersulit industri perbankan untuk dapat bersaing di pasaran global. Dikarenakan faktor-faktor tersebut, adalah tidak mungkin bagi industri perbankan Syariah untuk dapat tumbuh pesat dan menjadi kompetitor setara bank-bank konvensional di tanah air tanpa adanya peran serta serta dukungan dari pihak otoritas dan pemerintah yang menumbuhkan pemberdayaan dan kemampuan kompetisi perbankan Syariah NKRI termasuk, perlunya dilakukan perbaikan atas peraturan perundangan terkait. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement