Senin 22 Aug 2022 22:49 WIB

Ekonom: Penurunan Harga Komoditas Harus Direspon Ekspor Manufaktur

Ekonom CORE menyebut daya saing wajib ditingkatkan untuk dorong ekspor manufaktur

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Suasana bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai, tren penurunan harga komoditas harus direspons dengan mendorong ekspor manufaktur. Hanya saja, kata dia, langkah itu bukan sekadar jangka pendek.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Suasana bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai, tren penurunan harga komoditas harus direspons dengan mendorong ekspor manufaktur. Hanya saja, kata dia, langkah itu bukan sekadar jangka pendek.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga sejumlah komoditas saat ini mulai menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) pun menyatakan, Indonesia perlu mewaspadai penurunan tersebut.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai, tren penurunan harga komoditas harus direspons dengan mendorong ekspor manufaktur. Hanya saja, kata dia, langkah itu bukan sekadar jangka pendek.

"Maka semestinya dari awal-awal sekali, industri manufaktur itu strategi untuk mendorong competitiveness-nya harus sudah dalam jangka panjang. Ini menyangkut yang berorientasi ekspor tentu saja yg dilakukan harus dalam negerinya competitiveness-nya ditingkatkan supaya dia punya daya saing bisa bersaing dengan produk manufaktur serupa dengan negara lain," tutur Faisal kepada Republika, Senin (22/8).

Baik daya saing dari sisi efisiensi biaya produksi dan lainny. "Itu harus ditingkatkan sampai kepada mengetahui taste atau preferensi dr pasar global mitra dagang kita seperti apa dan harus mengikuti tren tersebut," jelas dia.

Ia melanjutkan, jika dilihat sekarang, peningkatan inflasi menjadi sebuah tantangan. Apalagi, dari sektor energi pun akan menaikkan harga."Berarti pemerintah harus siapkan langkah-langkah secara terintegrasi. Jadi bukan hanya di satu atau dua kementerian saja, karena ini harus kerja sama, karena misalkan untuk harga biaya produksi ini terkait kementerian keuangan sampai ke ESDM, dan lainnya. Jadi bukan hanya kementerian perindustrian saja," jelasnya.

Faisal menambahkan, di sisi perdagangan pun sama, bagaimana memperkuat akses pasar tidak hanya di dalam negeri, melainkan juga pasar ekspor. "Itu mesti melihat ke diversifikasi ke daerah atau negara-negara nontradisional, apalagi sekaranf tren alami perlamabatan pertumbuhan, kekhawatiran resesi justru di negara-negara besar atau negara maju yang merupakan mitra dagang tradisional kita," kata dia.

Maka, lanjutnya, tujuan ekspor ke negara nontradisional harus diperkuat sekarang. Perlu dicari peluangnya, seperti ke Afrika, Asia Tengah, sampai Asia Selatan, maupun Eropa Timur dan Amerika Latin. 

Direktur Riset Core Piter Abdullah melanjutkan, tingginya harga komoditas bukan disebabkan oleh kenaikan permintaan. Melainkan lebih disebabkan oleh hambatan supply. 

"Resesi di banyak negara memang akan menurunkan permintaan yang akan mendorong harga komoditas turun. Hanya saja disisi lain hambatan supply utamanya karena ketegangan geopolitik terutama perang ukraina masih ada," jelas dia kepada Republika.

Maka dirinya memperkirakan meski harga komoditas turun, namun masih akan di level cukup tinggi. "Tidak turun hingga level sebelum 2020," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement