Senin 18 Jul 2022 15:48 WIB

Mengapa Muncul Perbedaan Hukum Wali Nikah? Ini Penjelasan Ibnu Rusyd

Keberadaan wali merupakan salah satu syarat dalam sebuah pernikahan

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi pernikahan. Keberadaan wali merupakan salah satu syarat dalam sebuah pernikahan
Foto: ANTARA/Kahfie kamaru
Ilustrasi pernikahan. Keberadaan wali merupakan salah satu syarat dalam sebuah pernikahan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ada sejumlah syarat bagi terjalinnya sebuah pernikahan salah satunya adalah keberadaan wali. Namun demikian apakah hukum adanya wali nikah dalam pernikahan?  

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan, para ulama saling berselisih pendapat apakah wali termasuk syarat sahnya nikah atau tidak. 

Baca Juga

Menurut Imam Malik yang dikutip Asyhab, sesungguhnya tidak ada nikah tanpa wali dan sesungguhnya wali adalah salah satu syarat sahnya nikah.  

Imam Syafii setuju dengan pendapat tersebut. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy-Syu'bi, dan Az-Zuhri, boleh hukumnya seorang wanita melakukan akad tanpa wali asalkan calon suaminya sekufu dan sepadan. 

Sementara Imam Dawud membedakan antara gadis antara wanita yang berstatus gadis dan wanita yang berstatus sudah janda.  

Menurut pendapatnya, untuk wanita yang masih berstatus gadis disyaratkan harus ada wali dan untuk wanita yang berstatus janda tidak disyaratkan ada wali. 

Adapun Ibnu Qasim mengutip versi pendapat yang keempat dari Imam Malik tentang masalah wali, persyaratan wali hukumnya sunah, bukan fardhu.  

Sebab menurut Imam Malik, waris mewarisi antara pasangan suami istri tanpa perlu syarat wali. Dan seorang wanita boleh diwakilkan kepada seorang lelaki untuk menikahkannya. 

Tetapi Imam Malik juga menganjurkan agar seorang janda meminta kepada walinya untuk menikahkan dirinya. Ini artinya menurut Imam Malik, dalam pernikahan wali hanya sebagai syarat kesempurnaan saja, bukan syarat sahnya.  

Silang pendapat ini karena tidak ada satu pun ayat atau hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan, apalagi berupa nash yang menyatakan demikian.

Bahkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang biasa dijadikan argumen oleh para ulama yang mensyaratkan wali masih mengandung kemungkinan-kemungkinan.  

Begitu juga ayat-ayat dan hadits-hadits yang biasa dijadikan dasar oleh para ulama yang tidak mensyaratkan wali juga mengandung kemungkinan-kemungkinan. Selain itu hadits tersebut kesahihannya juga diperselisihkan oleh para ulama, kecuali hadits Ibnu Abbas.  

Di antara alasan yang paling jelas mengacu pada Alquran tentang disyaratkannya wali dalam firman Allah di surat Al Baqarah ayat 232 sebagai berikut:  

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ  "Apabila kamu hendak mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka nikah lagi dengan calon suaminya."  

Kata 'mereka' dalam ayat tersebut ditujukan kepada para wali. Jika dianggap tidak memiliki hak perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalanginya. Dan dalam firman Allah SWT surat Al Baqarah ayat 221: 

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ "Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum kamu beriman."  

Kata 'mereka' dalam ayat tersebut ditujukan kepada para wali. Dan di antara hadis-hadis terkenal yang dijadikan dasar oleh mereka ialah hadir yang diriwayatkan Az-Zuhri bersumber dari Urwah dari Sayyidah Aisyah yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها ، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

"Setiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Dan kalau ia sudah digauli, maka maskawinnya adalah berdasarkan apa yang telah didapat darinya. Dan kalau mereka berselisih, maka penguasa adalah wali wanita yang tidak punya wali sama sekali."   

Adapun ulama yang berpendapat tidak mensyaratkan wali mengemukakan dalil dari Alquran surat Al Baqarah ayat 234: 

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ "Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut." 

Berdasarkan pandangan mereka, ayat ini merupakan dalil bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri.   

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement