Kamis 30 Jun 2022 12:37 WIB

Hari Arafah dan Puasa Arafah, Bolehkah Berbeda?

Pemerintah Saudi dan Indonesia berbeda dalam penetapan 1 Dzulhijah.

Jamaah haji dari berbagai negara berkumpul dan berdoa untuk melaksanakan wukuf sebagai syarat sah berhaji di Padang Arafah, Arab Saudi, Senin (20/8). Mereka berdiam (wuquf), berdoa dan dzikir memohon ampunan kepada Allah SWT hingga matahari terbenam.
Foto:

Ketika Nabi Muhammad SAW puasa tanggal 9 Dzulhijjah ternyata belum ada umat Islam yang wukuf di Arafah. Sebab ibadah haji baru terlaksana di tahun ke-10 hijriyah. Sementara puasa 9 Dzulhijjah sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 hijriyah menurut sebagian riwayat. Jadi beliau SAW bukan puasa Arafah, tetapi puasa 9 Dzulhijjah”.

Lalu bagaimanakah menentukan tanggal 9 Dzulhijjah? Di sinilah letak permasalahannya, yaitu pada cara kita menentukan kapan jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah. Dan semua ulama menyepakati bahwa standar perhitungan ibadah ini adalah peredaran bulan.

Maka cara menentukannya sudah pasti dengan terlebih dahulu mengetahui kapan jatuhnya tanggal 1 Dzulhijjah. Dalam hal ini kita akan kembali diingatkan dengan bagaimana cara penentuan 1 Ramadhan. Penentuannya bisa dengan metode rukyat ataupun hisab; Hisab Wujud al-Hilal atau juga Hisab Imkan ar-Ru’yah, atau gabungan dari keduanya.

Lalu bagaimana jika penetapan tanggal 1 Dzulhijah ternyata berbeda dengan negeri lainnya? Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuan awal bulan baru, kita tidak boleh menafikan bahwa banyak juga para ulama yang meyakini setiap negeri boleh untuk memutuskan sendiri waktu ibadah mereka, tentunya keputusan ini bukan dengan semaunya kita, tetap harus melalui metode yang benar.

Hal ini disandarkan dengan hadits Kuraib yang sudah masyhur, diriwayatkan oleh Imam Muslim, artinya: “Bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan. Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku."

“Kapan kalian melihat hilal ?” tanya Ibnu Abbas. “Kami melihatnya malam Jumat”, jawab Kuraib. “Kamu melihatnya sendiri ?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa”, jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan: “Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”. Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”.

Jawab Ibnu Abbas, “Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580).

Dari cerita Kuraib di atas bisa diambil beberapa pelajaran, bahwa walaupun pada waktu itu umat Islam masih berada dalam satu kepemimpinan (khilafah) namun memungkinkan bagi Ibnu Abbas untuk berbeda dengan keputusan kholifah, dan tidak terdengar bahwa Ibnu Abbas adalah bagian dari mereka yang ‘membangkang’ dari kepemimpinan Muawiyah.

Jadi jika kita tarik ke zaman sekarang maka sebagaimana pemerintah Arab Saudi boleh memutuskan sendiri perihal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, maka hal sama bahwa pemerintah Indonesia juga boleh untuk menetapkan sendiri waktu puasa, Idul Fitri dan Idul Adhanya.

Lalu timbul pertanyaan mau ikut Arab Saudi atau pemerintah Indonesia? Ada pendapat yang bisa dijadikan patokan, yang bersumber dari salah seorang ulama terkemuka Saudi sendiri malah meyarankan kepada kita untuk tetap mengikuti hasil keputusan lokal (negeri tempat tinggalnya), dan tidak harus mengikuti keputusan Saudi.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengemukakan dalam fatwanya, artinya: “Dan yang benar itu adalah sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf Arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka. Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), jangan berbukalah” (Majmu’ Fatwa Ibnu Utsaimin).

Kesimpulannya perkara ini sangat longgar, tidak ada yang salah dengan pemerintah kita yang sudah bersusah payah melakukan usaha dalam penentuan awal Dzulhijjah, walaupun pada akhirnya terdapat perbedaan antara hasil yang diputuskan dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah Arab Saudi.

Untuk mereka yang sekarang berada di Arab Saudi, dari manapun asalnya, maka mereka terikat dengan waktu Saudi dalam hal apa saja; sholat, puasa, berbuka, wukuf, dan idul adha, namun untuk mereka yang berada di luar Saudi, mereka juga baiknya mengikut penjadwalan waktu setempat. Walaupun khusus untuk perkara puasa Ramadhan, puasa 9 Dzulhijjah dan dua lebaran “boleh-boleh” saja mengkuti keputusan Saudi. Wallahu A’lam Bisshawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement