Sabtu 14 May 2022 14:38 WIB

Manusia Gurun dari Dunia Kampus

Dunia kampus sejatinya adalah penjaga moral bangsa.

Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan Budi Santosa Purwakartiko
Foto:

Imtak dan Iptek

Dalam kaitan penyelenggaraan pendidikan nasional, keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah perintah undang-undang. Memang, itu saja, tidaklah mencukupi. Mesti dibarengi dengan kapabilitas, kreativitas dan kemampuan adaptif.

Mantan Presiden B.J. Habibie bahkan sejak tahun 1990-an telah mempopulerkan apa yang disebutnya sebagai ‘Imtak’ (iman dan takwa) dan ‘Iptek’ (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Saya kebetulan pernah berkesempatan mewawancarainya, pada suatu siang di tahun 1994.

Masa itu, saya masih aktif di pers kampus, dan pemilik 46 hak paten teknologi dunia itu baru saja menyampaikan keynote speaker di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Masih segar dalam ingatan saya bagaimana Bapak Teknologi Indonesia itu secara lugas melukiskan pentingnya penguasaan iptek. Ia memberi contoh: dua mobil bertabrakan. Beliau saat itu menyebut merk. Tapi kita sebut saja mobil A (seharga Rp 200 juta) dan mobil B (seharga Rp 2 milyar).

Setelah bertabrakan, ternyata harga kedua mobil itu menjadi sama (karena dihargai sebagai besi tua). Tamsil ini menunjukkan pentingnya penguasaan ‘iptek’. Tetapi juga, pada saat bersamaan, memperlihatkan signifikansi akan ‘imtak’.

Tanpa ‘imtak’, maka ‘iptek’ akan berjalan asimetris dan berpotensi membuahkan nestapa baru yang destruktif terhadap kemanusiaan secara universal. Mengapa? Karena ‘iptek’, hanya piawai menyediakan know-how (keterampilan teknis): yakni sebuah cara tanpa tujuan.

Inilah yang menjelaskan mengapa inovasi genetic engineering justru membuka pintu penyalahgunaan baru: ketidakseimbangan ekosistem, reaksi alergis, senjata biologis, dan seterusnya. Juga pencapaian di bidang nuklir, teknologi digital, dan era perdagangan bebas yang melahirkan momok baru.

Mungkin karena itu, angka bunuh diri di Jepang –negara dengan pencapaian iptek mencengangkan-- cenderung meningkat. Dalam periode Januari-Oktober 2020 saja, angka bunuh diri bertambah 3,7 persen menjadi 20.919 orang. Angka ini jauh melampaui jumlah kematian 3.460 orang akibat Covid-19.

Tapi, mungkin juga kita perlu membaca kembali Charles Darwin. Dalam otobiografinya, Darwin menulis (kita pinjam dari E.F. Schumacher, 1973): “Hilangnya cita rasa itu berarti lenyapnya kebahagiaan, barangkali merusak kecerdasan dan lebih-lebih lagi mungkin berbahaya bagi moral, karena hal itu melemahkan kehidupan emosi kita.”

Agaknya, cita rasa itu adalah ‘imtak’. Dan kita, sebagai bangsa, senyatanya tak pernah kehilangan itu. Ia bahkan bersemayam dalam konstitusi negara. Ia juga ditulis, begitu tegas, dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Kita hanya kudu mengaktifkannya kembali. Barangkali itu!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement