Ahad 01 May 2022 03:28 WIB

Menakar Efektifitas Pelarangan Ekspor Minyak Goreng

Pemerintah perlu berpikir ulang kebijakan minyak goreng di dalam negeri.

Warga membawa minyak goreng curah yang dibeli saat Operasi Pasar Minyak Goreng Curah di Gedung Serbaguna Pemkab Sleman, D.I Yogyakarta, Kamis (28/4/2022). Pemerintah melarang ekspor minyak goreng untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.
Foto: ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Warga membawa minyak goreng curah yang dibeli saat Operasi Pasar Minyak Goreng Curah di Gedung Serbaguna Pemkab Sleman, D.I Yogyakarta, Kamis (28/4/2022). Pemerintah melarang ekspor minyak goreng untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah/Redaktur Ekonomi Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Joko Widodo secara resmi melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng ke luar negeri. Larangan ini berlaku untuk ekspor dari seluruh wilayah Indonesia, termasuk dari kawasan berikat.

Sedari awal Presiden menyadari kebijakan ini menimbulkan pro-kontra berdampak negatif bagi pemasukan negara dan merugikan petani. Namun menurut Jokowi kebijakan ini diambil demi menambah pasokan dalam negeri hingga kembali melimpah. 

Artinya ini adalah kebijakan terbaik dari berbagai hal buruk yang mungkin bisa diambil. Jokowi pun berjanji, setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi, maka kebijakan larangan ekspor akan segera dicabut.

Dalam pidatonya, Jokowi pun menyentil industri minyak sawit untuk lebih mementingkan kebutuhan minyak goreng di Tanah Air. Karena sangat ironi sebagai produsen minyak sawit terbesar malah mengalami kelangkaan minyak goreng.

Jokowi meyakini kebutuhan minyak goreng dalam negeri akan dapat dengan mudah tercukupi jika seluruh pihak, termasuk industri minyak sawit memiliki niat bersama. Ia mengatakan, jika dilihat dari kapasitas produksi, maka kebutuhan dalam negeri memang dapat dengan mudah terpenuhi.

Selain itu, volume bahan baku minyak goreng yang diproduksi dan diekspor jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan dalam negeri. Sehingga masih ada sisa kapasitas yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sebagai informasi rincian larangan ekspor, tertulis dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022. 

Berbagai komoditas yang dilarang termaktub dalam Pasal 2 Ayat 1 di antaranya crude palm oil (CPO), refined, bleacehd, and deodorized palm oil (RBD palm oil), RBD palm olein, serta used coccking oil (UCO) atau minyak jelantah. Terdapat 12 pos tarif harmonized system (HS) yang masuk dalam pelarangan ekspor tersebut dan telah diatur rinci dalam Permendag 22 Tahun 2022.

Lebih lanjut, dalam Pasal 4 menegaskan, Kemendag menegaskan juga akan memberikan sanksi bagi setiap eksportir yang melakukan pelanggaran. Sanksi akan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Harga tandan yang Turun, Petani Rugi

Sayangnya begitu pelarangan ekspor dilakukan, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang malah merosot. Hal ini diakui Serikat Petani Indonesia (SPI).

Kebijakan ini menurut SPI dampaknya sangat memprihatinkan bagi petani sawit anggota SPI juga bagi petani sawit lainnya di seluruh tanah air. Oleh karena itu, menurut Ketua Umum SPI, Henry Saragih, pabrik kelapa sawit (PKS) telah melanggar ketentuan dalam perjanjian harga TBS petani. Sebab, harga semestinya tidak ditentukan secara sepihak karena harus melalui persetujuan kepala daerah.

Hal ini pun mendorong Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) meminta kepada seluruh pabrik kelapa sawit (PKS) agar tidak memanfaatkan kebijakan larangan ekspor untuk menurunkan harga bahkan tak membeli tanda buah segar (TBS) sawit dari para petani.

Pelaksana Tugas Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, mengatakan, meski di tengah larangan ekspor CPO, semestinya tidak ada kesulitan dari PKS untuk menyalurkan produksinya. Kelebihan pasokan menurut dia hal biasa, sehingga tidak ada alasan tak beli TBS petani.

Sahat mengatakan, dengan luas area perkebunan milik petani mandiri sebesar 6,88 juta hektare (ha), rata-rata produksi sehari berkisar 157,3 ribu ton. Jika produksi itu dihambat dengan tidak diserap pabrik, maka petani bisa merugi Rp 550 miliar per hari.

Karena itu, Sahat pun meminta agar para PKS tidak bermain-main selama masa kebijakan larangan sementara ekspor CPO. Seluruh pabrik harus bekerja sama agar pemenuhan pasokan domestik segera terpenuhi dan membanjiri pasar.

Penyelundupan CPO

DMSI juga mengungkap fakta lain dari akibat pelarangan ekspor produk turunan CPO. DMSI menduga ada oknum perusahaan yang menyelundupkan minyak goreng curah baru untuk diekspor dengan memalsukannya menjadi minyak goreng jelantah. Hal itu diketahui dari adanya kenaikan ekspor minyak jelantah yang tidak seperti biasanya.

Meski tak menyebutkan data kenaikan secara detail, Sahat menilai itu menjadi sinyal adanya praktik penyelundupan minyak goreng baru menjadi jelantah untuk diekspor. Itu pula yang menyebabkan adanya kelangkaan minyak goreng saat ini.

Selain itu, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan, hingga kini jajarannya sudah menangkap sebanyak 18 kapal bermuatan minyak sawit mentah atau CPO dan batubara yang akan diekspor. Adapun Yudo mengungkapkan, 18 kapal tersebut terdiri dari tujuh kapal bermuatan 63 juta metrik ton CPO dan 11 kapal bermuatan 51 ribu metrik ton batubara.

Yudo Margono menyatakan patroli saat ini akan mengutamakan pada antisipasi penyelundupan CPO. Selain itu, Yudo juga telah menginstruksikan seluruh personel TNI AL untuk bersiaga di tempat-tempat pemberangkatan CPO untuk ekspor.

Harga Turun Sedikit

Sehari setelah larangan ekspor produk turunan CPO, harga minyak goreng di beberapa daerah memang sedikit menurun. Beberapa merek kemasan dua liter di swalayan di Jabodetabek dijual dengan harga yang turun sedikit dari sebelumnya. Hanya saja banyak pihak menilai harga minyak goreng sulit turun signifikan karena jelang Idul Fitri.

Meski turun sedikit banyak pihak menilai pelarangan ekspor CPO justru amat merugikan. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, pelarangan ekspor minyak sawit (CPO) dan turunannya yang dimulai pada Kamis (28/4/2022) dapat mendistorsi pasar, merugikan petani dan mengganggu pemulihan ekonomi.

Board Member CIPS, Arianto Patunru mengatakan, kebijakan ini akan mengakibatkan banjir stok sawit domestik. Akibatnya, harga buah tandan segar akan terjun bebas dan hal ini akan merugikan petani sawit.

Pelarangan ini, ungkap dia, juga akan mengganggu pemulihan ekonomi. Alasannya Ekspor CPO dan turunannya bisa mencapai sekitar 10 persen total ekspor Indonesia. PDB akan menurun akibat pelarangan ekspor yang ganggu pemulihan ekonomi yang baru bangkit dari Covid-19.

Pelarangan ekspor juga diyakini akan meningkatkan harga CPO global. Selanjutnya, hal ini akan menciptakan potensi adanya pengaduan ke WTO dan bahkan retaliasi oleh mitra dagang.

Ekonom Australian National University (ANU) ini juga menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini. Menurutnya, jika tujuannya mengendalikan harga minyak goreng, kebijakan yang mungkin lebih efektif adalah pajak ekspor untuk RBD palm olein.

Sementara itu, Ekonom INDEF, Dradjad Wibowo menyarankan pemerintah ubah kebijakan terkait kelapa sawit. Hal itu karena persoalan minyak goreng bisa berlangsung lama.

Apalagi terjadi Perang Rusia-Ukraina menyebabkan negara Eropa sulit mendapat pasokan minyak bunga matahari sebagai minyak goreng. Mau tak mau Eropa akan berpaling ke produk turunan sawit untuk produk subsitusi nonminyak goreng.

Dengan kondisi ini, Dradjad mengatakan sulit mengharapkan harga sawit di dunia itu akan turun ke level sebelum akhir 2020. Sehingga ancaman kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng akan terus terjadi hingga satu atau dua tahun ke depan. “Ini yang harus diantisipasi. Kebijakannya harus efektif. Tidak bisa kebijakannya seperti yang kemarin dilakukan,” ungkap dia.

Melihat kondisi ini, tampaknya kebijakan pelarangan ekspor produk turunan CPO hanya efektif secara jangka pendek. Pemerintah perlu berpikir ulang minimal evaluasi terus menerus untuk tetap bisa menjaga harga minyak goreng di dalam negeri namun tidak sampai menganggu ekspor dan PDB. Apalagi tekanan eksternal terutama krisis komoditas akibat Perang Rusia-Ukraina pasti akan makin menekan dunia, bukan tak mungkin ketika harga migor stabil, harga minyak dunia yang justru amat melambung tinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement