REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA Agustina Erni mengatakan, pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual diharapkan menjadi sebuah langkah progresif. Khususnya, dalam mencegah meningkatnya angka perkawinan anak di Indonesia.
"Dalam Pasal 10 telah diatur ketentuan perihal jerat pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan yang dapat diancam pidana penjara paling lama 9 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta. Dalam Pasal 11 dijelaskan bahwa selain pidana penjara dan denda, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak," kata Erni melalui siaran pers di Jakarta.
Perkawinan anak saat ini masih menjadi isu nasional yang perlu mendapatkan perhatian dan sinergi multi-sektor. Terlebih, pada masa pandemi Covid-19.
Menurut dia, pada masa pandemi Covid-19 terjadi peningkatan pengajuan dispensasi kawin di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa alasan maraknya perkawinan anak, yakni menghindari zina, akibat belum meratanya pemahaman kesehatan reproduksi yang komprehensif, dan faktor ekonomi.
Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag) pada 2019 terdapat 25.280 kasus pengajuan dispensasi kawin. Pada 2020 angka ini melonjak hingga 65.301 kasus dan pada 2021 masih tinggi dengan jumlah 63.350 kasus.
"Berdasarkan data yang kami terima, dispensasi kawin tertinggi berada di daerah Jawa, yaitu di Pengadilan Agama Kota Surabaya, Pengadilan Agama Kota Semarang, dan Pengadilan Agama Kota Bandung," ujar Erni.
Menurut Erni, hal ini juga didorong adanya peningkatan batas usia kawin 16 tahun menjadi 19 tahun sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Perkawinan anak bukan hal yang bisa kita anggap remeh karena berdasarkan informasi yang kami terima dari Badilag, pada umumnya usia perkawinannya hanya bertahan 1-2 tahun. Jika terdapat sekitar 65 ribu pasangan yang mengajukan dispensasi kawin dan misalnya satu keluarga tersebut memiliki satu atau dua anak, maka bisa mencapai 130 ribu anak yang terancam mendapatkan pengasuhan tidak layak," tutur Erni.
Erni mengatakan, perkawinan anak menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti risiko kematian ibu karena melahirkan di usia muda, stunting, dan meningkatnya angka kemiskinan. "Kondisi ini sudah pasti akan mempengaruhi pencapaian target yang ada dalam SDGs, RPJMN maupun Strategi Nasional Pengurangan Perkawinan Usia Anak," tuturnya.