Kamis 06 Jan 2022 12:04 WIB

Cryptocurrency dan Problematika Penggunaannya dalam Perspektif Ekonomi Islam

Mata uang kripto tunduk pada spekulasi sehingga termasuk kategori perjudian (maysir).

Ilustrasi uang kripto dari bitcoin hingga ethereum
Foto:

Kelompok kedua sepakat dengan riwayat dari Umar Radiyallahuanhu. Menurut mereka uang adalah masalah terminologi. Maka sesuatu apapun yang dalam terminologi manusia dan dapat diterima di antara mereka sebagai tolak ukur nilai, maka disebut uang. Umar Radiyallahu Anhu pernah berkeinginan untuk menjadikan uang dari kulit unta karena banyaknya kecurangan dirham.

Hanya saja karena mengkhawatirkan punahnya unta, maka beliau membatalkan rencananya tersebut. Juga tidak diriwayatkan bahwa seseorang menyanggah Umar bin Khattab dengan alasan nilai penciptaan perak ketika beliau berkeinginan untuk menjadikan dirham dari kulit unta.

Konsep mengenai uang pada kenyataannya memang terus berkembang dari waktu ke waktu. Uang sebagai alat tukar pertama kali digunakan di peradaban Sumeria dan Babylonia. Di kemudian hari uang berevolusi menjadi uang barang (commodity money), uang tanda atau uang kertas (token money) dan uang giral (deposit money).

Walaupun demikian, dalam sistem perekonomian manapun, fungsi utama uang adalah sebagai alat tukar (medium of exchange). Dari fungsi utama ini kemudian diturunkan fungsi-fungsi lain, seperti uang sebagai pembakuan nilai, penyimpan kekayaan, satuan penghitungan dan pembakuan pembayaran tangguh.

Pada 2018 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa mengenai Bitcoin. Hal yang menarik dari fatwa ini adalah diperbolehkannya Bitcoin apabila digunakan sebagai alat tukar. Bunyi fatwa MUI tersebut adalah sebagai berikut: Bitcoin sebagai alat tukar hukumnya boleh dengan syarat harus ada serah terima (taqabudh) dan sama kuantitas jika jenisnya sama. Dan jika jenisnya berbeda disyaratkan harus taqabudh secara haqiqi atau hukmi (ada uang, ada bitcoin yang bisa diserahterimakan). MUI mendasarkan fatwanya ini pada riwayat yang disandarkan kepada Khalifah Umar ibn Khattab ra mengenai mata uang.

Meskipun demikian setelah mempelajari perkembangan uang kripto, MUI kemudian mengeluarkan fatwa baru dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI pada November 2021. Ijtima tersebut memutuskan bahwa penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang adalah haram. Keputusan ini diberikan karena penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang dianggap mengandung unsur gharar dan dharar. Dharar artinya adalah merugikan salah satu pihak.

Cryptocurrency sebagai komoditas atau asset digital juga diputuskan tidak sah diperjualbelikan karena dianggap mengandung unsur gharar, dharar, qimar, dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i. Artinya ketiadaan wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli.

Meskipun demikian Ijtima memutuskan bahwa cryptocurrency yang memenuhi syarat sil’ah, memiliki underlying asset serta bermanfaat maka diperbolehkan penggunaannya. Saat ini beberapa jenis cryptocurrency terutama yang dilahirkan dari negara-negara Islam memang sedang mengembangkan jenis cryptocurrency yang memiliki underlying asset, salah satunya berupa emas.

Cryptocurrency sebagai sebuah inovasi mata uang baru di dalam ekosistem ekonomi digital nampaknya akan terus berkembang dari waktu ke waktu. Peran ulama dan ekonom Islam dalam mempelajari karakteristik mata uang baru ini menjadi sangat krusial sebagai pedoman perilaku bermuamalah umat Islam.

Meskipun demikian beberapa prinsip dasar mestinya menjadi pedoman dalam perilaku bermuamalah umat. Larangan gharar, maysir/qimar maupun dharar adalah prinsip bermuamalah dalam Islam. Situasi ini juga sekaligus dorongan bagi umat Islam untuk mengembangkan cryptocurrency yang sesuai dengan syariat dan meminimalisir mudharat. Wallahua’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement